Ever wonder?

Islam...

Do you really know what it it?

Ever wonder?

  • why a nun can be covered from head to toe and she’s respected for devoting herself to God, ...and when a Muslimah does that she is “oppressed”?

  • Why a Jew can grow a beard and he’s just practicing his faith, ...and when a muslim does that he ‘s extremist?

  • When a western woman stays at home to look after the house and kids she’s sacrificing herself and doing good for the household, ...but when a muslim woman does so, she “need to be liberated”?

  • Why is it that when a child dedicates himself to a subject, he has POTENTIAL, ..and when a child dedicates himself to Islam, he is HOPELESS?

  • When a Christian or Jew kills someone, Religion is NOT mentioned, but when a muslim is charged with a crime, it is Islam that goes to Trial?

But then again, ....

Why is it after all that Islam is still the FASTEST growing religion in the WORLD?

Thursday, January 28, 2010

Hukum Sholat di Belakang Ahlul Bid'ah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas




Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka[1]

Dalam Shahiihul Bukhari [2] disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis[3] ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga yang pernah dilakukan oleh beberapa Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, yaitu shalat di belakang al-Walid bin Abi Mu’aith.[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Artinya : Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.”[5]

Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab: “Shalatlah di belakangnya dan ia yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang per-kataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan).

Ketahuilah bahwasanya seseorang boleh shalat bermakmum kepada orang yang tidak dia ketahui bahwa ia memiliki kebid’ahan atau kefasikan berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ahli bid’ah maupun pelaku maksiyat, pada asalnya shalatnya adalah sah. Apabila seseorang shalat bermakmum kepadanya, shalatnya tidak menjadi batal. Namun ada ulama yang meng-anggapnya makruh. Karena amar ma’ruf nahi munkar itu wajib hukumnya. Di antaranya bahwa orang yang menampakkan ke-bid’ahan dan kefasikannya, jangan sampai ia menjadi imam rutin (rawatib) bagi kaum Muslimin.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikian juga di-makruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari Islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari Islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.’ Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dalam al-Mukhtashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasiq dan ahlu bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.” [6]

Menshalatkan seorang Muslim yang meninggal dunia hukum-nya fardhu kifayah, tetapi apabila seorang Muslim tersebut adalah ahlul bid’ah dan pelaku maksiyat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut pendapat jumhur ulama, dia boleh dishalatkan. Dalam hal ini dikecualikan para pemberontak, perampok, munafiq, dan orang yang mati bunuh diri. Sebagai pelajaran bagi yang lainnya, adapun orang munafiq, tidak boleh dishalatkan dengan dasar firman Allah al-Hakiim:

"Artinya : Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (men-do’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [At-Taubah : 84] [7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Safi'i, Cetakan Ketiga. PO Box 7803/JACC 13340]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[2]. Shahiihul Bukhari (no. 1660, 1662, 1663).
[3]. Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi seorang amir yang zhalim, dia menjadi amir di Irak selama 20 tahun, dan dialah yang membunuh ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awam di Makkah. Hajjaj mati tahun 95 H. Lihat Taqriibut Tahdziib (I/190, no. 1144) dan Tahdziibut Tahdziib (II/184-186), oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[4]. Lihat Shahiih Muslim (no. 1707).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah
[6]. Diringkas dari al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (IV/253) oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
[7]. Lihat pembahasan ini dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529-537) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (hal. 343-371), al-Imaamah fish Shalaah fii Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 42-48) oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani.

Hukum Sholat di Belakang Ahlul Bid'ah

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas




Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka[1]

Dalam Shahiihul Bukhari [2] disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis[3] ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga yang pernah dilakukan oleh beberapa Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, yaitu shalat di belakang al-Walid bin Abi Mu’aith.[4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Artinya : Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.”[5]

Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullah pernah ditanya tentang boleh atau tidaknya shalat di belakang ahlul bid’ah, beliau menjawab: “Shalatlah di belakangnya dan ia yang menanggung dosa bid’ahnya.” Imam al-Bukhari memberikan bab tentang per-kataan Hasan al-Bashri dalam Shahiihnya (bab Imamatul Maftuun wal Mubtadi’ dalam Kitaabul Aadzaan).

Ketahuilah bahwasanya seseorang boleh shalat bermakmum kepada orang yang tidak dia ketahui bahwa ia memiliki kebid’ahan atau kefasikan berdasarkan kesepakatan para ulama.

Ahli bid’ah maupun pelaku maksiyat, pada asalnya shalatnya adalah sah. Apabila seseorang shalat bermakmum kepadanya, shalatnya tidak menjadi batal. Namun ada ulama yang meng-anggapnya makruh. Karena amar ma’ruf nahi munkar itu wajib hukumnya. Di antaranya bahwa orang yang menampakkan ke-bid’ahan dan kefasikannya, jangan sampai ia menjadi imam rutin (rawatib) bagi kaum Muslimin.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Bahwa shalat di belakang orang yang fasik dan pemimpin yang zhalim, sah shalatnya. Sahabat-sahabat kami telah berkata: ‘Shalat di belakang orang fasik itu sah tidak haram akan tetapi makruh, demikian juga di-makruhkan shalat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak sampai kepada tingkat kufur (bid’ahnya tidak menjadikan ia keluar dari Islam). Tetapi bila bid’ahnya adalah bid’ah yang menyebabkan ia keluar dari Islam, maka shalat di belakangnya tidak sah, sebagaimana shalat di belakang orang kafir.’ Dan Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan dalam al-Mukhtashar bahwa makruh hukumnya shalat di belakang orang fasiq dan ahlu bid’ah, kalau dikerjakan juga, maka shalatnya tetap sah, dan inilah pendapat jumhur ulama.” [6]

Menshalatkan seorang Muslim yang meninggal dunia hukum-nya fardhu kifayah, tetapi apabila seorang Muslim tersebut adalah ahlul bid’ah dan pelaku maksiyat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut pendapat jumhur ulama, dia boleh dishalatkan. Dalam hal ini dikecualikan para pemberontak, perampok, munafiq, dan orang yang mati bunuh diri. Sebagai pelajaran bagi yang lainnya, adapun orang munafiq, tidak boleh dishalatkan dengan dasar firman Allah al-Hakiim:

"Artinya : Dan janganlah sekali-kali kamu menshalati (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (men-do’akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” [At-Taubah : 84] [7]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Safi'i, Cetakan Ketiga. PO Box 7803/JACC 13340]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[2]. Shahiihul Bukhari (no. 1660, 1662, 1663).
[3]. Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi seorang amir yang zhalim, dia menjadi amir di Irak selama 20 tahun, dan dialah yang membunuh ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Awam di Makkah. Hajjaj mati tahun 95 H. Lihat Taqriibut Tahdziib (I/190, no. 1144) dan Tahdziibut Tahdziib (II/184-186), oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[4]. Lihat Shahiih Muslim (no. 1707).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537), dari Abu Hurairah
[6]. Diringkas dari al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (IV/253) oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
[7]. Lihat pembahasan ini dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 529-537) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ (hal. 343-371), al-Imaamah fish Shalaah fii Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal. 42-48) oleh Dr. Sa’id bin Wahf al-Qahthani.

Semua Hadits Tentang Qunut Subuh Terus-Menerus adalah Lemah

Hadits-Hadits Shahih Tentang Qunut Nazilah
Sabtu, 9 Juli 2005 06:37:46 WIB

SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Keempat dari Enam Tulisan 4/6

HADITS-HADITS SHAHIH TENTANG QUNUT NAZILAH

HADITS PERTAMA
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut selama satu bulan secara terus-menerus pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, (yaitu) apabila ia mengucap Sami’Allahu liman hamidah di raka’at yang akhir, beliau mendo’akan kebinasaan atas kabilah Ri’lin, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang ada pada perkampungan Bani Sulaim, dan orang-orang di belakang beliau mengucapkan amin.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud[1], Ibnul Jarud[2], Ahmad[3], al-Hakim dan al-Baihaqi[4]. Dan Imam al-Hakim menambahkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan. [Lihat Irwaa-ul Ghalil II/163]

HADITS KEDUA
Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut selama satu bulan setelah bangkit dari ruku’, yakni mendo’a kebinasaan untuk satu kabilah dari kabilah-kabilah Arab, kemudian beliau meninggal-kannya (tidak melakukannya lagi).”

Diriwayatkan oleh Ahmad[5], Bukhari[6], Muslim[7], an-Nasaa-i[8], ath-Thahawi[9].

Dalam hadits Ibnu Abbas dan hadits Anas dan beberapa hadits yang lainnya menunjukkan bahwa pertama kali qunut dilakukan ialah ketika Bani Sulaim yang terdiri dari Kabilah Ri’lin, Hayyan, Dzakwan dan ‘Ushayyah meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau mengajarkan mereka tentang Islam.

Maka, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka tujuh puluh orang qurra’ (para penghafal al-Qur'an), sesampainya mereka di sumur Ma’unah, mereka (para qurra’) itu dibunuh semuanya. Pada saat itu, tidak ada kesedihan yang lebih menyedihkan yang menimpa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain kejadian itu. Maka kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan, yang kemudian beliau tinggalkan.

Di antaranya adalah hadits Ibnu ‘Umar dan Abu Hu-rairah di bawah ini:

Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ di raka’at yang terakhir ketika shalat Shubuh, ia membaca: “Allahummal ‘an fulanan wa fulanan wa fulanan (Ya Allah laknatlah si fulan dan si fulan dan si fulan) sesudah ia membaca Sami’allaahu liman hamidahu. Kemudian Allah menurunkan ayat (yang artinya): ‘Sama sekali soal (mereka) itu bukan menjadi urusanmu, apakah Allah akan menyiksa mereka atau akan mengampuni mereka. Maka sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang zhalim.’” [Ali ‘Imraan: 128]

Hadits shahih riwayat Ahmad (II/147)

Dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila hendak mendo’akan kecelakaan atas seseorang atau mendo’akan kebaikan untuk seseorang, beliau mengerjakan qunut sesudah ruku’, dan kemungkinan apabila ia membaca: Sami’allahu liman hamidah, (lalu) beliau membaca, ‘Allahumma… dan seterusnya (yang artinya: Ya Allah, selamatkanlah Walid bin Walid dan Salamah bin Hisyam dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang tertindas dari orang-orang Mukmin. Ya Allah, keraskanlah siksa-Mu atas (kaum) Mudhar, Ya Allah, jadikanlah atas mereka musim kemarau seperti musim kemarau (yang terjadi pada zaman) Yusuf.’”

Abu Hurairah berkata, “Nabi keraskan bacaannya itu dan ia membaca dalam akhir shalatnya dalam shalat Shu-buh: Allahummal ‘an fulanan… dan seterusnya (Ya Allah, laknatlah si fulan dan si fulan) yaitu (dua orang) dari dua kabilah bangsa Arab, sehingga Allah menurunkan ayat: ‘Sama sekali urusan mereka itu bukan menjadi urusanmu... (dan seterusnya).’”

Hadits shahih riwayat Ahmad ii/255 dan al-Bukhari No 4560

Di dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya no. 1004 disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.

Lafazhnya adalah sebagai berikut:

Dari Anas, ia berkata, “Qunut itu ada dalam shalat Maghrib dan Shubuh.”

Dan dalam hadits yang shahih pula disebutkan bahwa Abu Hurairah pernah qunut pada shalat Zhuhur dan ‘Isya sesudah mengucapkan Sami’allahu liman hamidahu (setelah bangkit dari ruku’ (di saat sedang i’tidal).), ia berdo’a untuk kebaikan/kemenangan kaum Mukminin dan melaknat orang-orang kafir. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Shalatku ini menyerupai shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Lafazh haditsnya secara lengkap adalah sebagai berikut:

Dan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Sungguh aku akan mendekatkan kamu dengan shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Abu Hurairah kemudian qunut dalam raka’at yang akhir dari shalat Zuhur, ‘Isya dan shalat Shubuh, sesudah ia membaca: ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Lalu ia mendo’akan kebaikan untuk orang-orang Mukmin dan melaknat orang-orang kafir.”

Hadits shahih riwayat Ahmad (II/255), al-Bukhari (no. 797) dan Muslim (no.676 (296), ad-Daraquthni (II/37 atau II/165) cet. Darul Ma’rifah.

Memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut pada shalat Shubuh, begitu juga Abu Hurairah, akan tetapi ingat, bahwa hal itu bukan semata-mata dilakukan pada shalat Shubuh saja! Sebab apabila dibatasi pada shalat Shubuh saja, maka hal ini akan berten-tangan dengan riwayat yang sangat banyak sekali yang menyebutkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut pada lima waktu shalat yang wajib. Menurut hadits yang keenam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak qunut melainkan apabila beliau hendak mendo’akan kebaikan atau mendo’akan kebinasaan atas suatu kaum. Maka apabila beliau qunut itu menunjukkan ada musibah yang menimpa ummat Islam dan dilakukan selama satu bulan[10]


[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Dalam kitab al-Musnad (I/301-302).
[2]. Dalam kitab Mustadrak-nya (I/225-226).
[3]. Dalam kitab Sunanul Kubra (II/200 & II/212).
[4]. Dalam kitab al-Musnad III/115, 180, 217, 261 & III/191, 249.
[5]. Di dalam kitab Shahih-nya no. 4089.
[6]. Dalam kitab Shahih-nya no.677 (304), tanpa lafazh “ba’dar ruku’.”
[7]. Dalam kitab Sunan-nya II/203-204.
[8]. Dalam kitab Syarah Ma’anil Atsar (I/245).
[9]. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no.1989, Abu Dawud no.1445, sebagaimana juga telah disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Maram no.287, lihat juga kitab Irwaa-ul Ghalil II/163.
[10]. Sebelum ini telah disebutkan hadits-hadits yang menunjukkan adanya qunut pada shalat Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, dan ‘Isya, adapun yang menerangkan adanya qunut pada shalat Maghrib, adalah hadits Bara’ bin ‘Azib:
Dari Baraa’ bin ‘Azib, “Sesungguhnya Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut dalam shalat Shubuh dan Maghrib.”
Hadits shahih riwayat Ahmad IV/285, Muslim no.678 (306), Abu Dawud no.1441, at-Tirmidzi no.401, an-Nasaa-i II/202, ad-Dara-quthni II/36, al-Baihaqi II/198, ath-Thahawi II/242, Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya no.737, lafazh ini milik Muslim.

Berapa Rakaat Sholat Tarawih?

Soal: Apa hukum sholat tarawih dan berapa jumlah rokaatnya?

Jawab: Sholat tarawih adalah sunnah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Shahih Bukhori dan Shahih Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menerangkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam suatu malam sholat di Masjid, orang-orangpun ikut sholat bersama beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Malam berikutnya beliau juga sholat dan orang yang mengikutinya semakin banyak. Kemudian mereka mengumpul pada malam ketiga atau keempat tetapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar mengimami mereka. Ketika memasuki pagi hari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):”Saya telah melihat apa yang telah kalian kerjakan. Dan tidak adayang menghalangiku dari keluar untuk mengimami kalian kecuali karena saya takut hal ini akan diwajibkan bagi kalian” . Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadlon.

Sedangkan jumlah rokaat sholat tarawih adalah 11 (sebelas) rokaat. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ditanya tentang sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlon, maka ia berkata:

ما كان يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة (رواه البخاري؛ مسلم)

“Beliau sholat tidak melebihi dari sebelas rokaat baik dalam bulan Ramadlon ataupun selainnya” (HR. Bukhori no. 1147; Muslim no. 125).

Jika melakukan sholat tarawih tiga belas rokaat juga tidak mengapa, berdasarkan perkataan Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:”Sholat Rasulullah shlallahu ‘alaihi wa sallam adalah tiga belas rokaat”, yaitu sholat malam. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shahihnya no. 1137; Muslim dalam Shahihnya no. 764.

Jumlah sholat tarawih sebelas rokaat jelas jelas bersumber dari Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma sebagaimana terdapat dalam Al-Muwaththo’ dengan sanad (=jalan) yang paling shahih.

Jika sholat tarawih dilakukan lebih dari itu maka tidak mengapa, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang sholat malam, beliau bersabda:”Sholat malam, dua rokaat, dua rokaat”. Dan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya.

Riwayat dari para salaf tentang jumlah rokaat sholat tarawih bermacam-macam. Tetapi yang lebih utama adalah mencukupkan dengan yang dikerjakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas rokaat.

Dan tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ Ar-Rosyidin melakukan sholat tarawih sebanyak 23 rokaat. Bahkan jelas riwayat dari Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sholat malam 11 rokaat. Dimana beliau memerintahkan ‘Ubai bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami manusia dengan 11 rokaat.

Inilah riwayat yang tepat, bahwa apa yang beliau kerjakan adalah apa yang juga dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan kami tidak mengetahui ada sahabat yang melakukannya melebihi 23 rokaat, bahkan yang nampak tidaklah demikian.

Telah disebutkan dimuka perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak menambah lebih dari sebelas rokaat baik pada bulan Ramadlon ataupun bulan lainnya.

Adapun ijma’ para sahabat radhiallahu ‘anhum maka tidak diragukan lagi sebagai hujjah (=dalil) karena diantara mereka ada Khulafa’ Ar-Rasyidin yang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengikuti mereka, karena memang merekalah sebaik-baiknya generasi dari ummat ini.

Ketahuilah bahwa perbedaan pendapat tentang jumlah rokaat sholat tarawih dan yang lainnya yang memang padanya terbuka pintu ijtihad, maka tidak seyogyannya menjadi pintu untuk berpecah belah antar ummat, terlebih memang salaf pun berbeda pendapat tentang masalah ini. Dan hal ini memang tidak menutup kemungkinan pintu ijtihad. Dan alangkah baiknya perkataan ahli ilm saat ada orang yang menyelisihi pendapatnya pada masalah yang terbuka pintu ijtihad padanya:

Sesungguhnya dengan anda menyelisihi pendapatku maka engkau telah sependapat denganku. Maka setiap kita melihat, wajib mengikuti yang benar menurut pendapatnya untuk masalah yang dibolehkan berijtihad.

Kita memohon kepada Allah untuk semuanya agar memberi petunjuk kepada apa yang dicintai dan diridloi-Nya.


Sumber: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no. 279.

http://abdurrahman.wordpress.com/2007/08/30/jumlah-rokaat-sholat-tarawih/#more-382

Bagaimana Cara Sholatnya Musafir?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana cara shalat musafir dan bagaimana pula puasanya ?

Jawaban
Shalat musafir adalah dua raka'at sejak saat dia keluar dari kampung halamannya sampai kembali kepadanya, berdasarkan kata-kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim"

Dalam riwayat lain

"dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim" [1]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata.

"Artinya : Kami keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, lalu beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah". [2]

Akan tetapi apabila seseorang shalat bersama imam, maka ia harus menyempurnakan shalat empat rakaat, sama saja apakah dia mengikuti shalat sejak awal atau kehilangan sebagian rakaat darinya ; berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian menjaga ketenangan dan ketentraman, jangan terburu-buru, apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah" [3]

Keumuman sabda beliau : "Apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah", meliputi para musafir yang shalat di belakang imam yang mengerjakan shalat empat rakaat dan selain mereka. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ditanya tentang, bagaimana keadaan musafir yang shalat dua rakaat manakala bersendiri dan empat rakaat apabila bersama orang tempatan ? Dia menjawab, "itulah sunnah".

Kewajiban shalat jama'ah tidak gugur bagi musafir, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkannya di dalam kondisi perang, Dia berfirman.

"Artinya : Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu". [An-Nisa : 102]

Berdasarkan dalil ini, apabila ada seorang musafir berada di suatu daerah yang bukan daerahnya, dia wajib menghadiri shalat jama'ah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali bila letaknya sangat jauh, atau khawatir khilangan teman-temannya, sesuai keumuman dalil yang menunjukkan pada wajibnya shalat berjama'ah bila mendengar adzan atau iqamah.

Sedangkan mengenai mengerjakan shalat sunnat ; seorang musafir boleh melaksanakan shalat sunnat selain rawatib dhuhur, ashar, maghrib dan isya, dia boleh mengerjakan shalat witir, shalat lail, shalat dhuha, shalat rawatib fajar dan selain dari itu berupa shalat sunnat selain rawatib yang dikecualikan tersebut.

Tentang menjamak (mengumpulkan shalat) : jika dia dalam keadaan berjalan (naik kendaraan) yang lebih utama adalah menjamak antara dhuhur dan ashar, antara maghrib dan isya, bisa dengan jama taqdim maupun jama takhir, melihat mana yang lebih mudah baginya, segala hal yang lebih mudah adalah lebih utama.

Jika dia dalam keadaan berhenti (tinggal di suatu daerah) yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat, jika dia tetap menjamak maka tidak mengapa ; berdasarkan pengesahan dua hal itu dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun tentang puasa musafir di bulan Ramadhan, yang lebih utama adalah dia tetap berpuasa, namun jika dia berbuka pun tidak mengapa, lalu dia mengganti jumlah hari berbukanya, kecuali jika berbuka lebih memudahkannya maka berbuka menjadi lebh utama, karena Allah menyukai orang yang menjalankan rukhshah (keringanan)nya, segala puji milik Allah Pemelihara semesta alam.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Bukhari mengeluarkannya : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Meringkas Apabila Kaluar dari Tempat Tinggalnya 1090. Muslim : Kitab Shalat Musafirin wa Qashriha. Bab : Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 685.
[2]. Telah diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Apa Yang Datang Tentang Meringkas 1081. Muslim : Kitab Shalat Musafirin qa Qashriha, Bab Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 693
[3]. Bukhari mengeluarkan dalam Kitab Adzan, Bab : Tidak Boleh Terburu-Buru Mendatangi Shalat, Hendaklah Datang Dengan tenang dan Tentram 636

Bagaimana Cara Sholatnya Musafir?

Bagaimana Cara Shalatnya Musafir ?
Jumat, 15 Juli 2005 06:56:23 WIB

BAGAIMANA CARA SHALATNYA MUSAFIR ?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana cara shalat musafir dan bagaimana pula puasanya ?

Jawaban
Shalat musafir adalah dua raka'at sejak saat dia keluar dari kampung halamannya sampai kembali kepadanya, berdasarkan kata-kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim"

Dalam riwayat lain

"dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim" [1]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata.

"Artinya : Kami keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, lalu beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah". [2]

Akan tetapi apabila seseorang shalat bersama imam, maka ia harus menyempurnakan shalat empat rakaat, sama saja apakah dia mengikuti shalat sejak awal atau kehilangan sebagian rakaat darinya ; berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian menjaga ketenangan dan ketentraman, jangan terburu-buru, apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah" [3]

Keumuman sabda beliau : "Apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah", meliputi para musafir yang shalat di belakang imam yang mengerjakan shalat empat rakaat dan selain mereka. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ditanya tentang, bagaimana keadaan musafir yang shalat dua rakaat manakala bersendiri dan empat rakaat apabila bersama orang tempatan ? Dia menjawab, "itulah sunnah".

Kewajiban shalat jama'ah tidak gugur bagi musafir, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkannya di dalam kondisi perang, Dia berfirman.

"Artinya : Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu". [An-Nisa : 102]

Berdasarkan dalil ini, apabila ada seorang musafir berada di suatu daerah yang bukan daerahnya, dia wajib menghadiri shalat jama'ah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali bila letaknya sangat jauh, atau khawatir khilangan teman-temannya, sesuai keumuman dalil yang menunjukkan pada wajibnya shalat berjama'ah bila mendengar adzan atau iqamah.

Sedangkan mengenai mengerjakan shalat sunnat ; seorang musafir boleh melaksanakan shalat sunnat selain rawatib dhuhur, ashar, maghrib dan isya, dia boleh mengerjakan shalat witir, shalat lail, shalat dhuha, shalat rawatib fajar dan selain dari itu berupa shalat sunnat selain rawatib yang dikecualikan tersebut.

Tentang menjamak (mengumpulkan shalat) : jika dia dalam keadaan berjalan (naik kendaraan) yang lebih utama adalah menjamak antara dhuhur dan ashar, antara maghrib dan isya, bisa dengan jama taqdim maupun jama takhir, melihat mana yang lebih mudah baginya, segala hal yang lebih mudah adalah lebih utama.

Jika dia dalam keadaan berhenti (tinggal di suatu daerah) yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat, jika dia tetap menjamak maka tidak mengapa ; berdasarkan pengesahan dua hal itu dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun tentang puasa musafir di bulan Ramadhan, yang lebih utama adalah dia tetap berpuasa, namun jika dia berbuka pun tidak mengapa, lalu dia mengganti jumlah hari berbukanya, kecuali jika berbuka lebih memudahkannya maka berbuka menjadi lebh utama, karena Allah menyukai orang yang menjalankan rukhshah (keringanan)nya, segala puji milik Allah Pemelihara semesta alam.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Bukhari mengeluarkannya : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Meringkas Apabila Kaluar dari Tempat Tinggalnya 1090. Muslim : Kitab Shalat Musafirin wa Qashriha. Bab : Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 685.
[2]. Telah diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Apa Yang Datang Tentang Meringkas 1081. Muslim : Kitab Shalat Musafirin qa Qashriha, Bab Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 693
[3]. Bukhari mengeluarkan dalam Kitab Adzan, Bab : Tidak Boleh Terburu-Buru Mendatangi Shalat, Hendaklah Datang Dengan tenang dan Tentram 636

Bagaimana Cara Sholatnya Musafir?

Bagaimana Cara Shalatnya Musafir ?
Jumat, 15 Juli 2005 06:56:23 WIB

BAGAIMANA CARA SHALATNYA MUSAFIR ?


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana cara shalat musafir dan bagaimana pula puasanya ?

Jawaban
Shalat musafir adalah dua raka'at sejak saat dia keluar dari kampung halamannya sampai kembali kepadanya, berdasarkan kata-kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim"

Dalam riwayat lain

"dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim" [1]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata.

"Artinya : Kami keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, lalu beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah". [2]

Akan tetapi apabila seseorang shalat bersama imam, maka ia harus menyempurnakan shalat empat rakaat, sama saja apakah dia mengikuti shalat sejak awal atau kehilangan sebagian rakaat darinya ; berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian menjaga ketenangan dan ketentraman, jangan terburu-buru, apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah" [3]

Keumuman sabda beliau : "Apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah", meliputi para musafir yang shalat di belakang imam yang mengerjakan shalat empat rakaat dan selain mereka. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ditanya tentang, bagaimana keadaan musafir yang shalat dua rakaat manakala bersendiri dan empat rakaat apabila bersama orang tempatan ? Dia menjawab, "itulah sunnah".

Kewajiban shalat jama'ah tidak gugur bagi musafir, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkannya di dalam kondisi perang, Dia berfirman.

"Artinya : Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu". [An-Nisa : 102]

Berdasarkan dalil ini, apabila ada seorang musafir berada di suatu daerah yang bukan daerahnya, dia wajib menghadiri shalat jama'ah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali bila letaknya sangat jauh, atau khawatir khilangan teman-temannya, sesuai keumuman dalil yang menunjukkan pada wajibnya shalat berjama'ah bila mendengar adzan atau iqamah.

Sedangkan mengenai mengerjakan shalat sunnat ; seorang musafir boleh melaksanakan shalat sunnat selain rawatib dhuhur, ashar, maghrib dan isya, dia boleh mengerjakan shalat witir, shalat lail, shalat dhuha, shalat rawatib fajar dan selain dari itu berupa shalat sunnat selain rawatib yang dikecualikan tersebut.

Tentang menjamak (mengumpulkan shalat) : jika dia dalam keadaan berjalan (naik kendaraan) yang lebih utama adalah menjamak antara dhuhur dan ashar, antara maghrib dan isya, bisa dengan jama taqdim maupun jama takhir, melihat mana yang lebih mudah baginya, segala hal yang lebih mudah adalah lebih utama.

Jika dia dalam keadaan berhenti (tinggal di suatu daerah) yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat, jika dia tetap menjamak maka tidak mengapa ; berdasarkan pengesahan dua hal itu dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun tentang puasa musafir di bulan Ramadhan, yang lebih utama adalah dia tetap berpuasa, namun jika dia berbuka pun tidak mengapa, lalu dia mengganti jumlah hari berbukanya, kecuali jika berbuka lebih memudahkannya maka berbuka menjadi lebh utama, karena Allah menyukai orang yang menjalankan rukhshah (keringanan)nya, segala puji milik Allah Pemelihara semesta alam.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
_________
Foote Note
[1]. Bukhari mengeluarkannya : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Meringkas Apabila Kaluar dari Tempat Tinggalnya 1090. Muslim : Kitab Shalat Musafirin wa Qashriha. Bab : Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 685.
[2]. Telah diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Apa Yang Datang Tentang Meringkas 1081. Muslim : Kitab Shalat Musafirin qa Qashriha, Bab Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 693
[3]. Bukhari mengeluarkan dalam Kitab Adzan, Bab : Tidak Boleh Terburu-Buru Mendatangi Shalat, Hendaklah Datang Dengan tenang dan Tentram 636

Bacaan Qunut Dalam Shalat (1/2)

Ditulis Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Ali

Sudah menjadi satu kebiasaan di kebanyakan masjid yang ada di tanah air kita ketika shalat Shubuh berjamaah, imam selalu membaca do'a qunut setelah rukuk pada raka'at terakhir dengan bacaan "Allohummahdinaa fiiman hadait ...dst." kemudian diaminkan oleh para makmum di belakangnya.
Do'a tersebut kebanyakan telah dihafal oleh kalangan awam, lebih-lebih mereka yang dianggap pandai dalam urusan agama. Hal ini dikarenakan do'a qunut ini tidak pernah mereka tinggalkan. Atau, mereka menganggap itu merupakan sunnah rawatib (sunnah yang selayaknya dilaksanakan terus) dalam shalat Shubuh. Atau bahkan yang lebih ekstrem, menganggap bahwa qunut Shubuh merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga tidak jarang kita jumpai seorang makmurn yang sedang shalat dengan seorang imam yang tidak dikenalnya, kemudian tatkala irnarnnya tidak membaca qunut dan langsung sujud setelah i'tidal, maka dia (si makmum) segera membatalkan shalatnya dan mengulangi shalatnya, atau kalau tidak demikian maka dia terus mengikuti imamnya sampai salam kernudian mengulangi shalat Shubuhnya karena dia menganggap shalat Shubuhnya tidak sah tanpa qunut.
Terjadinya hal tersebut tidak lain karena faktor ketidaktahuan mereka dalarn masalah ini, atau memang mereka tidak mau tahu lantaran mereka telah terjerat oleh perangkap taqlid buta, atau fanatik madzhab, atau sebab lainnya.
Untuk mengetahui bagairnana yang benar, kita harus kembalikan kepada Alloh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui semua khilaf di antara manusia. Untuk itu, pada edisi kali ini penulis akan mengulas dengan singkat permasalahan qunut dalam shalat baik qunut shalat Shubuh, qunut Witir, atau yang lainnya. Mudah-mudahan Alloh Ta'ala memudahkannya.
1 Qunut Dalam Shalat Subuh
Termasuk kebiasaan kebanyakan orang, mereka terus-menerus melakukan qunut di setiap shalat Shubuh saja, sedangkan dalam shalat yang lain mereka tidak melakukannya.
Dalil mereka:
1. Mereka berpegang dengan hadits:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah, senantiasa berqunut dalam shalat Shubuhnya sampai meninggal dunia."
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 3/110, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/312, Imam Ahmad dalam al-Musnad 3/162, ad-Daruquthni dalam as-Sunan 2/39, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar 1/248.
Di dalam hadits ini ada seorang perawi lemah yang bernama Abu Ja'far ar Razi yang telah dikritik oleh para pakar hadits:
Ahmad bin Hanbal mengatakan tentangnya: "Dia bukan perawi yang kuat."
Ibnul Madini berkata: "Dia adalah perawi yang mencampur hadits (salah dalam meriwayatkan hadits)."
Abu Zur'ah berkata: "Dia sering salah (dalam meriwayatkan hadits)."
Ibnu Hibban berkata: "Dia sering bersendirian dengan riwayat-riwayat yang mungkar, meriwayatkan hadits-hadits dari para perawi yang masyhur (keterpercayaannya) ."2
Ibnul Qayyim mengatakan:
"Abu Ja'far telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan lainnya."3
Syaikh al-Albani dalam Silsilah adh-Dhaifah hadits no. 1238, beliau mengatakan: "Hadits ini mungkar." Dengan sebab perawi yang disebutkan di atas.
2. Ada hadits lain yang semakna dengan hadits pertama yang dijadikan sandaran pengkhususan qunut secara terus-menerus dalam shalat Shubuh, dan dianggap sebagai penguat hadits yang pertama, yaitu:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah melakukan qunut, begitu juga Abu Bakr, Umar, dan Utsman.4
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Baihaqi (dalam as-Sunan al-Kubra 2/201) dan oleh Daruquthni (dalam as-Sunan 2/166).
Dalam hadits ini ada dua orang perawi yang bernama Ismail bin Muslim al-Makki dan 'Amr bin ' Ubaid, yang keduanya telah dikritik oleh para pakar hadits, di antaranya:
Imam Baihaqi mengatakan:
"Kami tidak menjadikan Ismail dan 'Amr sebagai hujjah (dalam periwayatan hadits).5
Al-Kharib dalam al-Kifayah (hal. 372) mengatakan: "Dia (Ismail) adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya."
Syaikh al-Albani mengatakan:
"Demikian juga Imam Nasa'i mengatakannya (Ismail adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya) dan telah ditinggalkan oleh para pakar hadits. Adapun 'Amr bin 'Ubaid, maka dia telah dituduh dusta ditambah lagi dia seorang Mu'tazilah. Kemudian (hadits ini diriwayatkan oleh) al-Hasan al-Bashri, walaupun dia seorang yang tinggi derajatnya tetapi dia memalsukan hadits dengan cara 'an'anah: yaitu dengan mengatakan ``dari'', andaikan sanadnya shahih sampai kepada beliau (al Hasan al Bashri) maka tetap hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah karena telah diriwayatkan oleh dua perawi yang ditinggalkan haditsnya.6
Kesimpulan tentang hadits qunut shubuh secara terus-menerus:
Dari hadits-hadits yang telah kami paparkan semuanya tidak bisa dipakai sebagai hujjah untuk melegalisasi qunut Shubuh secara terus-menerus. Adapun sebagian ulama yang menghasankan hadits di atas dengan sebab banyaknya jalan riwayat hadits tersebut, maka tidak dapat diterima karena semuanya tidak dapat saling menguatkan dengan sebab sangat lemahnya dan bisa dikatakan mungkar karena menyelisihi hadits yang shahih dari Anas sendiri yang telah mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus (sebagaimana akan kami jelaskan nanti).
1.1 Hukum Qunut Shubuh Secara Terus Menerus
Hadits yang disebutkan di atas tidak bisa dijadikan sandaran sebagai dalil qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus karena kelemahannya. Oleh karenanya, banyak ulama yang telah mengomentari qunut Shubuh ini, di antaranya;
1. Thariq bin Asyyam seorang sahabat yang mengikuti shalat berjamaah di belakang Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib beliau mengatakan qunut Shubuh adalah bid'ah sebagaimana dalam hadits berikut ini:
Dari Sa'd bin Thariq al-Asyja'i berkata: Aku berkata kepada bapakku (1hariq): "Wahai bapakku, sungguh engkau telah mengikuti shalat berjamaah bersama dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib, apakah mereka semua melakukan qunut pada shalat Shubuh?" Dia menjawab: "Wahai anakku itu adalah bid'ah."7
2. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan para ulama yang semisalnya berdalil dengan hadits di atas (hadits Sa'd) bahwa qunut ratib (terus-menerus) dalam shalat Shubuh tidak dibolehkan.8
3. Imam Ahmad mengatakan:
"Tidak ada qunut dalam shalat Shubuh kecuali bila terjadi musibah (Nazilah) yang menimpa kaum muslimin."9
4. Al-Mubarakfuri mengatakan (ketika mengomentari hadits-hadits tentang qunut):
"Qunut itu adalah qunut Nazilah, dan tidak pernah ada hadits shahih menerangkan adanya qunut dalam shalat kecuali qunut Nazilah."10
Maka dapat kita simpulkan hukum qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus adalah bid'ah, yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi kita dan para sahabatnya; selayaknya bagi setiap muslim untuk meninggalkannya. Namun sangat disayangkan banyak di kalangan kaum muslimin meninggalkan hadits-hadits yang shahih tentang qunut Nazilah, kemudian mengamalkan hadits yang lemah bahkan mungkar tentang qunut shalat Shubuh secara terus-menerus.11
Kalaupun Shahih, Hadits Itu Bukan Dalil Untuk Terus-Menerus Qunut Shubuh
Andaikan kita mengatakan hadits itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil dikarenakan beberapa hal:
1. Perkataan (qunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma'ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :
1. Kepunyaan-Nyalah siapa saja yang di langit dan di bumi, semuanya tunduk patuh hanya kepada-Nya. (QS. ar-Rum [30]: 26).
2. Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) terus-menerus taat kepada Alloh dan Rasul-Nya dan mengerjakan amalan shalih, ma.ka Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat. (QS. al-Ahzab[33]:31)
3. Dan berdirilah (dalam shalatmu) dalam keadaan khusyuk. (QS. al-Baqarah[2]:238)
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadits Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do'a ketika i'tidal yang disyariatkan, bukan do'a qunut yang mereka maksudkan karena dalam I'tidal harus khusyuk, thuma'ninah, dan tenang, dan tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadits Anas itu adalah ucapan "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst. " serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan do'a khusus qunut Shubuh yang berbunyi "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst." Maka dari mana mereka mengkhususkan qunut ketika shalat Shubuh dengan do'a itu?
2. Dalam hadits yang shahih Anas pernah meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi melaksanakan qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib serta tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh. Demikian juga yang diriwayatkan oleh al-Bara' bin Azib.12 Sehingga kita dapat mengatakan bahwa yang shahih: Nabi tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh saja, bahkan beliau qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.
3. Qunut yang dimaksud oleh Anas adalah qunut Nazilah (do'a supaya diselamatkan dari suatu musibah). Oleh karena itu, Anas sendiri pernah meriwayatkan hadits Nabi dengan mengatakan:
``Rasulullah melakukan qunut (mendo'akan kehancuran) atas suatu kaum di antara kaum-kaum Arab selama sebulan, kemudian beliau tinggalkan (qunut tersebut).13
4. Bahwasanya Anas sendiri meriwayatkan bahwa bukan kebiasaan Nabi beserta para sahabatnya melakukan qunut dalam shalat, akan tetapi permulaan adanya do'a qunut adalah ketika Nabi mendo'akan (kehancuran) atas Ri'l dan Dzakwan sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oteh Imam Bukhari dan Muslim:
a. ``Dan Anas berkata: Rasulullah pernah mengutus tujuh puluh orang laki-laki yang dikenal sebagai al-Qurra' (para pembaca al-Qur'an) dalam sebuah keperluan. Kemudian tatkala sampai di sumur Maunah, mereka dihadang oleh penduduk dua kampung dari bani Sulaim, bani Ri'l, dan bani Dzakwan, maka mereka mengatakan: "Demi Alloh kami tidak bermaksud kepada kalian, kami hanya ingin lewat karena sebuah keperluan Rasulullah." Kemudian mereka membunuh mereka (utusan Rasulullah tersebut). Maka Rasulullah mendo'akan kehancuran mereka dalam shalat Shubuh selama sebulan, dan itulah permulaan (adanya) Qunut kami, dan dulu kami tidak membaca do'a qunut."14
Hadits di atas menunjukkan bahwa bukan termasuk petunjuk Nabi terus-menerus melaksanakan qunut, bahkan qunut Nabi hanya sebatas kebutuhan saja, tatkala musibah itu berlalu maka Nabi berhenti dari qunutnya. Dan oleh karena itu, tatkala Rasulullah berdo'a qunut Nazilah dalam shalat Isya' selama satu bulan untuk keselamatan beberapa kaum muslimin yang hendak datang kepada beliau, lalu suatu ketika beliau berhenti dari qunutnya, kemudian Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah akan hal itu, maka Rasulullah bersabda:
Tidak tahukah engkau bahwa mereka (yang kita do'akan) telah datang?15
Maka inilah qunutnya Rasulullah, beliau tidak berqunut kecuali ada musibah yang menghadang kaum muslimin (Nazilah), dan dilakukan sebatas kebutuhan, kemudian beliau tinggalkan.

Catatan Kaki
...2
Lihat Mizanul I'tidal 3/320, Tahdzibut Tahdzib 12/57, dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah no. 1328.
...3
Lihat Zadul Ma'ad 1/276.
...4
HR. Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan Daruquthni dalam as-Sunan 2/166.
...5
Lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah 3/385; kemudian Syaikh al-Albani berkomentar tentang Ismail al-Makki bahwa dia seorang yang haditsnya lemah.
...6
Lihat footnote no. 4.
...7
HR. Tirmidzi 1292, Ibnu Majah 1/393, Nasa'i 3/203-204; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil hadits no. 435.
...8
Lihat Subulus Salam 1/387 dalam penjelasan hadits Sa'd di atas.
...9
Lihat Tuhfatul Ahwadzi 2/434
...10
Taudhih al-Ahkam 2/83.
...11
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 130)
...12
HR. Muslim 1/470, Ahmad dalam al-Musnad'4/2~/"5, Tirmidzi dalam al-Jami' 401, Abu Dawud 1441, dan lainnya,
...13
HR. Muslim 304, Ahmad dalam al-Musnad 3/191, Abu Dawud 1445, Nasai 2/203, dan lainnya.
...14
HR. Bukhari 1002, Muslim 297.
...15
HR. Bukhari 804, Muslim 294.

(red. vbaitullah.or.id)Setelah menjelaskan mengenai qunut subuh, maka pembahasan berikutnya jenis qunut yang lainnya, yaitu qunut nazilah, dan qunut witir. Bagaimanakah landasan hukumnya, do'a yang diucapkan, dan tata caranya?
2 Qunut Nazilah / Nawazil
Qunut Nazilah / Nawazil adalah do'a kebaikan/kemenangan bagi kaum muslimin dan do'a kehancuran bagi orang-orang kafir/musuh Islam yang dibaca ketika shalat untuk memohon keselamatan dari Alloh Ta'ala, tatkala kaum muslimin ditimpa suatu marabahaya atau musibah.
Hukum qunut Nazilah adalah sunnah dilakukan setelah rukuk pada raka'at terakhir di setiap shalat fardhu, setelah mengucapkan Saami'Allahu liman hamidah.
Akan tetapi yang sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin tidak mengetahui qunut Nazilah sehingga mereka meninggalkan sama sekali sunnah ini, padahal hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali dan derajatnya shahih.16
2.1 Dalil Qunut Nazilah
1. Banyak dalil yang menjelaskan disunnahkannya qunut Nazilah, sebagaimana beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang telah lalu. Dan untuk lebih jelasnya, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini: Dari Abu Hurairah beliau berkata:
"Sungguh aku akan melakukan shalat yang mirip dengan shalat Nabi,." Lalu Abu Hurairah membaca do'a qunut setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah pada rakaat terakhir dari shalat Zhuhur, Isya', dan Shubuh; beliau mendo'akan (keselamatan) buat kaum mu'minin dan melaknat orang-orang kafir.17
2. Hadits shahih yang lain tentang qunut Nazilah adalah:
Dari Ibnu Abbas beliau berkata: "Rasulullah pernah melakukan qunut selama sebulan penuh dalam shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', dan Shubuh dalam setiap penghujung shalat setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah, pada rakaat yang terakhir, beliau mendo'akan kehancuran beberapa penduduk kampung bani Sulaim, dari (kabilah) Ri'l, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya."18
(Di Antara Cara Qunut)
Imam Membaca Qunut, Makmum Mengaminkan
Adapun yang disunnahkan bagi makmum hanyalah mengucapkan amin atas do'a imamnya. Dan termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para makmum menambah-nambahi ucapan selain mengaminkan do'a imam, seperti yang banyak mereka ucapkan, ketika imam membaca do'a qunut, mereka menjawabnya dengan ucapan amien ya Alloh, atau mereka mengucapkan subhanalloh, atau haq ya Alloh, atau asyhid! (saksikan!), dan sebagainya; hal ini didasari oleh hadits yang telah lalu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan:
...dan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya.19
Begitu juga, tidak disyariatkan membalikkan kedua tangan ketika mendo'akan kehancuran musuh/orang kafir, kemudian mengembalikan/membalikkan kedua tangan kepada posisi semula (menengadah) ketika imam mendo'akan kembali kebaikan bagi kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orang yang kita saksikan di Masjidil Haram atau yang lainnya, atau sebagaimana yang mereka lakukan yaitu membalikkan kedua tangan tatkala imam berdo'a supaya diangkat bala' dan bahaya dari kaum muslimin.20
Mengangkat Tangan Ketika Qunut
Disyariatkan bagi imam dan makmum ketika membaca qunut Nazilah dan qunut Witir untuk mengangkat kedua tangannya. Hal ini didasari oleh hadits dan atsar dari para sahabat, di antaranya sebagaimana yang dikatakan oleh Tsabit dari Anas bin Malik beliau berkata:
Sungguh aku melihat Rasulullah di setiap shalat Shubuh beliau mengangkat kedua tangannya mendo'akan kehancuran mereka (omng-orang kafir). 21
Dan Imam Baihaqi juga menerangkan bahwa telah sah dari beberapa sahabat Nabi dalam do'a qunut mereka mengangkat tangannya, seperti Umar bin Khaththab dan lainnya, dan beliau nyatakan hadits dan atsar itu, semuanya shahih.22
Tidak Mengusap Wajah Setelah Qunut
Berkata al-Izz bin Abdus Salam:
"Tidaklah mengusap wajahnya setelah berdo'a kecuali orang yang bodoh."23
Perkataan beliau di atas didasari lantaran tidak adanya satu hadits pun yang shahih tentang mengusap wajah setelah berdo'a. Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengannya semuanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena sangat lemahnya. Imam al-Baihaqi mengatakan:
"Tidak ada satu pun dari ulama salaf yang mengusap wajah setelah berdo'a."24
Imam Nawawi mengatakan:
"Tidak disunnahkan mengusap wajah setelah do'a."25
Syaikh al-Albani menyatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo'a adalah bid'ah karena hal itu tidak dicontohkan oleh panutan kita.26
3 Qunut Witir
Qunut Witir adalah do'a di penghujung shalat (Witir) yang pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada al-Hasan bin Ali, dilakukan sebelum rukuk27 atau sesudah rukuk28 pada rakaat terakhir dari shalat Witir. Adapun do'a yang dibaca:
Dari al-Hasan bin Ali beliau berkata Rasulullah mengajariku beberapa kalimat untuk aku ucapkan ketika qunut Witir (yang artinya):
"Wahai Alloh, berilah aku petunjuk seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang yang Engkau beri kesehatan, sayangilah aku seperti orang yang Engkau sayangi, berilah keberkahan pada apa yang Engkau berikan padaku, jauhkanlah aku dari kejahatan (makhluk) yang Engkau taqdirkan, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan hukuman dan tidak satu pun yang menghukum-Mu, sesungguhnya siapa yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak menjadi mulia orang yang Engkau musuhi, Maha Suci Engkau wahai Rabb kami yang Maha Tinggi."29
3.1 Do'a Setelah Shalat Witir
Disunnahkan bagi yang telah melaksanakan shalat Witir untuk mengucapkan do'a berikut ini:
Adalah Rasulullah melakukan shalat Witir tiga rakaat, dengan membaca pada rakaat pertama surat Sabbihisma Rabbikal A'la, pada rakaat kedua surat Qul ya ayyuhal kafirun, dan pada rakaat ketiga surat Qul huwa-Allohu Ahad, dan beliau membaca qunut Witir sebelum rukuk; kemudian tatkala selesai beliau membaca Subhanal Malikil Quddus (Maha Suci Alloh Sang Maharaja yang Maha Suci) diulang tiga kali, beliau memanjangkan (bacaan itu) pada akhirnya."30
4 Kesimpulan
1. Kebiasaan yang berjalan di masyarakat dengan qunut Shubuh secara terus-rnenerus disebabkan ketidaktahuan dan didasari dengan taqlid/ikut-ikutan saja.
2. Hadits-hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus (yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik) adalah sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, dan justru hadits-hadits yang sah dari Anas mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus kecuali qunut Nazilah.
3. Qunut Shubuh dengan bacaan "Allohumahdinii fiiman hadait... dst.", adalah salah kaprah karena do'a ini diajarkan oleh Nabi kepada al-Hasan bin Ali untuk do'a qunut Witir bukan qunut Shubuh.
4. Telah sah dari Nabi dan para sahabatnya, mereka melakukan qunut Nazilah setelah rukuk dalam rakaat terakhir di setiap shalat fardhu.
5. Apabila imam membaca do'a qunut, disyariatkan bagi makmum mengucapkan "amin".
6. Ketika membaca do'a qunut (baik Nazilah atau Witir), imam dan makmum mengangkat kedua tangannya.
7. Tidak disyariatkan mengusap wajah setelah do'a qunut.
8. Disunnahkan do'a qunut dalam shalat Witir baik sebelum atau sesudah rukuk dengan bacaan: "Allohumahdinii fiiman hadait... dst."
Wallohu A'lam bish-shawab.


Catatan Kaki
...16
Ta'liq Syaikh Ahmad Syakir dalam Jami' at-Tirmidzi 2/252.
...17
HR. Bukhari 1/204, Muslim 2/135, Abu Dawud 1440, Nasai 1/164, Daruquthni 178, Baihaqi 2/206, Ahmad 2/255.
...18
HR. Abu Dawud 1443, Baihaqi 2/200, Ahmad 1/301, dan lainnya; dihasankan al-Albani dalam Misykat al-Mashabih no. 1290.
...19
Lihat footnote no. 10.
...20
Lihat al-Qaulal-Mubin fi Ahtha'al-Mushallin hal. 132.
...21
HR. Baihaqi 2/211.
...22
Lihat as-Sunan al-Kubra 2/212.
...23
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 133.
...24
as-Sunan al-Kubra 2/212.
...25
Shahih al-Adzkar hal. 960.
...26
Irwa'al-Ghalil 2/172.
...27
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka'b bahwa Nabi berqunut sebelum rukuk (dishahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Abi Dawud 2/135).
...28
Sebagaimana hadits-hadits qunut setelah rukuk secara umum yang telah lalu (lihat al-Mulakhashat al-Fiqhiyyah hal. 51). Dan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Iraqi: "Telah datang (dari Nabi) hadits-hadits qunut Witir dari berbagai jalan perawi yang menunjukkan disyariatkannya qunut Witir. Sebagian hadits itu hasan, sebagian yang lain shahih, dan telah sah sunnah Nabi tentang qunut (Witir) baik sebelum atau sesudah rukuk, sedangkan kebanyakan sahabat, tabi'in, para ahli fiqh seperti Imam Ahmad dan selainnya memilih qunut (Witir) dilakukan sesudah rukuk." (Taudhihul Ahkam 2/86)
...29
HR. Abu Dawud 1425-1426, Tirmidzi 464, dan Nasai 3/248; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil 2/172.
...30
HR. Nasa'i 3/235, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Sunan Nasa'i 1699.


Disalin dari Majalah Al Furqan Edisi 10 Tahun V hal. 37-43.

Bacaan Qunut Dalam Shalat (1/2)

Ditulis Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Ali

Sudah menjadi satu kebiasaan di kebanyakan masjid yang ada di tanah air kita ketika shalat Shubuh berjamaah, imam selalu membaca do'a qunut setelah rukuk pada raka'at terakhir dengan bacaan "Allohummahdinaa fiiman hadait ...dst." kemudian diaminkan oleh para makmum di belakangnya.
Do'a tersebut kebanyakan telah dihafal oleh kalangan awam, lebih-lebih mereka yang dianggap pandai dalam urusan agama. Hal ini dikarenakan do'a qunut ini tidak pernah mereka tinggalkan. Atau, mereka menganggap itu merupakan sunnah rawatib (sunnah yang selayaknya dilaksanakan terus) dalam shalat Shubuh. Atau bahkan yang lebih ekstrem, menganggap bahwa qunut Shubuh merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga tidak jarang kita jumpai seorang makmurn yang sedang shalat dengan seorang imam yang tidak dikenalnya, kemudian tatkala irnarnnya tidak membaca qunut dan langsung sujud setelah i'tidal, maka dia (si makmum) segera membatalkan shalatnya dan mengulangi shalatnya, atau kalau tidak demikian maka dia terus mengikuti imamnya sampai salam kernudian mengulangi shalat Shubuhnya karena dia menganggap shalat Shubuhnya tidak sah tanpa qunut.
Terjadinya hal tersebut tidak lain karena faktor ketidaktahuan mereka dalarn masalah ini, atau memang mereka tidak mau tahu lantaran mereka telah terjerat oleh perangkap taqlid buta, atau fanatik madzhab, atau sebab lainnya.
Untuk mengetahui bagairnana yang benar, kita harus kembalikan kepada Alloh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui semua khilaf di antara manusia. Untuk itu, pada edisi kali ini penulis akan mengulas dengan singkat permasalahan qunut dalam shalat baik qunut shalat Shubuh, qunut Witir, atau yang lainnya. Mudah-mudahan Alloh Ta'ala memudahkannya.
1 Qunut Dalam Shalat Subuh
Termasuk kebiasaan kebanyakan orang, mereka terus-menerus melakukan qunut di setiap shalat Shubuh saja, sedangkan dalam shalat yang lain mereka tidak melakukannya.
Dalil mereka:
1. Mereka berpegang dengan hadits:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah, senantiasa berqunut dalam shalat Shubuhnya sampai meninggal dunia."
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 3/110, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/312, Imam Ahmad dalam al-Musnad 3/162, ad-Daruquthni dalam as-Sunan 2/39, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar 1/248.
Di dalam hadits ini ada seorang perawi lemah yang bernama Abu Ja'far ar Razi yang telah dikritik oleh para pakar hadits:
Ahmad bin Hanbal mengatakan tentangnya: "Dia bukan perawi yang kuat."
Ibnul Madini berkata: "Dia adalah perawi yang mencampur hadits (salah dalam meriwayatkan hadits)."
Abu Zur'ah berkata: "Dia sering salah (dalam meriwayatkan hadits)."
Ibnu Hibban berkata: "Dia sering bersendirian dengan riwayat-riwayat yang mungkar, meriwayatkan hadits-hadits dari para perawi yang masyhur (keterpercayaannya) ."2
Ibnul Qayyim mengatakan:
"Abu Ja'far telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan lainnya."3
Syaikh al-Albani dalam Silsilah adh-Dhaifah hadits no. 1238, beliau mengatakan: "Hadits ini mungkar." Dengan sebab perawi yang disebutkan di atas.
2. Ada hadits lain yang semakna dengan hadits pertama yang dijadikan sandaran pengkhususan qunut secara terus-menerus dalam shalat Shubuh, dan dianggap sebagai penguat hadits yang pertama, yaitu:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah melakukan qunut, begitu juga Abu Bakr, Umar, dan Utsman.4
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Baihaqi (dalam as-Sunan al-Kubra 2/201) dan oleh Daruquthni (dalam as-Sunan 2/166).
Dalam hadits ini ada dua orang perawi yang bernama Ismail bin Muslim al-Makki dan 'Amr bin ' Ubaid, yang keduanya telah dikritik oleh para pakar hadits, di antaranya:
Imam Baihaqi mengatakan:
"Kami tidak menjadikan Ismail dan 'Amr sebagai hujjah (dalam periwayatan hadits).5
Al-Kharib dalam al-Kifayah (hal. 372) mengatakan: "Dia (Ismail) adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya."
Syaikh al-Albani mengatakan:
"Demikian juga Imam Nasa'i mengatakannya (Ismail adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya) dan telah ditinggalkan oleh para pakar hadits. Adapun 'Amr bin 'Ubaid, maka dia telah dituduh dusta ditambah lagi dia seorang Mu'tazilah. Kemudian (hadits ini diriwayatkan oleh) al-Hasan al-Bashri, walaupun dia seorang yang tinggi derajatnya tetapi dia memalsukan hadits dengan cara 'an'anah: yaitu dengan mengatakan ``dari'', andaikan sanadnya shahih sampai kepada beliau (al Hasan al Bashri) maka tetap hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah karena telah diriwayatkan oleh dua perawi yang ditinggalkan haditsnya.6
Kesimpulan tentang hadits qunut shubuh secara terus-menerus:
Dari hadits-hadits yang telah kami paparkan semuanya tidak bisa dipakai sebagai hujjah untuk melegalisasi qunut Shubuh secara terus-menerus. Adapun sebagian ulama yang menghasankan hadits di atas dengan sebab banyaknya jalan riwayat hadits tersebut, maka tidak dapat diterima karena semuanya tidak dapat saling menguatkan dengan sebab sangat lemahnya dan bisa dikatakan mungkar karena menyelisihi hadits yang shahih dari Anas sendiri yang telah mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus (sebagaimana akan kami jelaskan nanti).
1.1 Hukum Qunut Shubuh Secara Terus Menerus
Hadits yang disebutkan di atas tidak bisa dijadikan sandaran sebagai dalil qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus karena kelemahannya. Oleh karenanya, banyak ulama yang telah mengomentari qunut Shubuh ini, di antaranya;
1. Thariq bin Asyyam seorang sahabat yang mengikuti shalat berjamaah di belakang Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib beliau mengatakan qunut Shubuh adalah bid'ah sebagaimana dalam hadits berikut ini:
Dari Sa'd bin Thariq al-Asyja'i berkata: Aku berkata kepada bapakku (1hariq): "Wahai bapakku, sungguh engkau telah mengikuti shalat berjamaah bersama dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib, apakah mereka semua melakukan qunut pada shalat Shubuh?" Dia menjawab: "Wahai anakku itu adalah bid'ah."7
2. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan para ulama yang semisalnya berdalil dengan hadits di atas (hadits Sa'd) bahwa qunut ratib (terus-menerus) dalam shalat Shubuh tidak dibolehkan.8
3. Imam Ahmad mengatakan:
"Tidak ada qunut dalam shalat Shubuh kecuali bila terjadi musibah (Nazilah) yang menimpa kaum muslimin."9
4. Al-Mubarakfuri mengatakan (ketika mengomentari hadits-hadits tentang qunut):
"Qunut itu adalah qunut Nazilah, dan tidak pernah ada hadits shahih menerangkan adanya qunut dalam shalat kecuali qunut Nazilah."10
Maka dapat kita simpulkan hukum qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus adalah bid'ah, yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi kita dan para sahabatnya; selayaknya bagi setiap muslim untuk meninggalkannya. Namun sangat disayangkan banyak di kalangan kaum muslimin meninggalkan hadits-hadits yang shahih tentang qunut Nazilah, kemudian mengamalkan hadits yang lemah bahkan mungkar tentang qunut shalat Shubuh secara terus-menerus.11
Kalaupun Shahih, Hadits Itu Bukan Dalil Untuk Terus-Menerus Qunut Shubuh
Andaikan kita mengatakan hadits itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil dikarenakan beberapa hal:
1. Perkataan (qunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma'ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :
1. Kepunyaan-Nyalah siapa saja yang di langit dan di bumi, semuanya tunduk patuh hanya kepada-Nya. (QS. ar-Rum [30]: 26).
2. Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) terus-menerus taat kepada Alloh dan Rasul-Nya dan mengerjakan amalan shalih, ma.ka Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat. (QS. al-Ahzab[33]:31)
3. Dan berdirilah (dalam shalatmu) dalam keadaan khusyuk. (QS. al-Baqarah[2]:238)
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadits Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do'a ketika i'tidal yang disyariatkan, bukan do'a qunut yang mereka maksudkan karena dalam I'tidal harus khusyuk, thuma'ninah, dan tenang, dan tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadits Anas itu adalah ucapan "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst. " serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan do'a khusus qunut Shubuh yang berbunyi "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst." Maka dari mana mereka mengkhususkan qunut ketika shalat Shubuh dengan do'a itu?
2. Dalam hadits yang shahih Anas pernah meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi melaksanakan qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib serta tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh. Demikian juga yang diriwayatkan oleh al-Bara' bin Azib.12 Sehingga kita dapat mengatakan bahwa yang shahih: Nabi tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh saja, bahkan beliau qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.
3. Qunut yang dimaksud oleh Anas adalah qunut Nazilah (do'a supaya diselamatkan dari suatu musibah). Oleh karena itu, Anas sendiri pernah meriwayatkan hadits Nabi dengan mengatakan:
``Rasulullah melakukan qunut (mendo'akan kehancuran) atas suatu kaum di antara kaum-kaum Arab selama sebulan, kemudian beliau tinggalkan (qunut tersebut).13
4. Bahwasanya Anas sendiri meriwayatkan bahwa bukan kebiasaan Nabi beserta para sahabatnya melakukan qunut dalam shalat, akan tetapi permulaan adanya do'a qunut adalah ketika Nabi mendo'akan (kehancuran) atas Ri'l dan Dzakwan sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oteh Imam Bukhari dan Muslim:
a. ``Dan Anas berkata: Rasulullah pernah mengutus tujuh puluh orang laki-laki yang dikenal sebagai al-Qurra' (para pembaca al-Qur'an) dalam sebuah keperluan. Kemudian tatkala sampai di sumur Maunah, mereka dihadang oleh penduduk dua kampung dari bani Sulaim, bani Ri'l, dan bani Dzakwan, maka mereka mengatakan: "Demi Alloh kami tidak bermaksud kepada kalian, kami hanya ingin lewat karena sebuah keperluan Rasulullah." Kemudian mereka membunuh mereka (utusan Rasulullah tersebut). Maka Rasulullah mendo'akan kehancuran mereka dalam shalat Shubuh selama sebulan, dan itulah permulaan (adanya) Qunut kami, dan dulu kami tidak membaca do'a qunut."14
Hadits di atas menunjukkan bahwa bukan termasuk petunjuk Nabi terus-menerus melaksanakan qunut, bahkan qunut Nabi hanya sebatas kebutuhan saja, tatkala musibah itu berlalu maka Nabi berhenti dari qunutnya. Dan oleh karena itu, tatkala Rasulullah berdo'a qunut Nazilah dalam shalat Isya' selama satu bulan untuk keselamatan beberapa kaum muslimin yang hendak datang kepada beliau, lalu suatu ketika beliau berhenti dari qunutnya, kemudian Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah akan hal itu, maka Rasulullah bersabda:
Tidak tahukah engkau bahwa mereka (yang kita do'akan) telah datang?15
Maka inilah qunutnya Rasulullah, beliau tidak berqunut kecuali ada musibah yang menghadang kaum muslimin (Nazilah), dan dilakukan sebatas kebutuhan, kemudian beliau tinggalkan.

Catatan Kaki
...2
Lihat Mizanul I'tidal 3/320, Tahdzibut Tahdzib 12/57, dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah no. 1328.
...3
Lihat Zadul Ma'ad 1/276.
...4
HR. Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan Daruquthni dalam as-Sunan 2/166.
...5
Lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah 3/385; kemudian Syaikh al-Albani berkomentar tentang Ismail al-Makki bahwa dia seorang yang haditsnya lemah.
...6
Lihat footnote no. 4.
...7
HR. Tirmidzi 1292, Ibnu Majah 1/393, Nasa'i 3/203-204; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil hadits no. 435.
...8
Lihat Subulus Salam 1/387 dalam penjelasan hadits Sa'd di atas.
...9
Lihat Tuhfatul Ahwadzi 2/434
...10
Taudhih al-Ahkam 2/83.
...11
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 130)
...12
HR. Muslim 1/470, Ahmad dalam al-Musnad'4/2~/"5, Tirmidzi dalam al-Jami' 401, Abu Dawud 1441, dan lainnya,
...13
HR. Muslim 304, Ahmad dalam al-Musnad 3/191, Abu Dawud 1445, Nasai 2/203, dan lainnya.
...14
HR. Bukhari 1002, Muslim 297.
...15
HR. Bukhari 804, Muslim 294.

(red. vbaitullah.or.id)Setelah menjelaskan mengenai qunut subuh, maka pembahasan berikutnya jenis qunut yang lainnya, yaitu qunut nazilah, dan qunut witir. Bagaimanakah landasan hukumnya, do'a yang diucapkan, dan tata caranya?
2 Qunut Nazilah / Nawazil
Qunut Nazilah / Nawazil adalah do'a kebaikan/kemenangan bagi kaum muslimin dan do'a kehancuran bagi orang-orang kafir/musuh Islam yang dibaca ketika shalat untuk memohon keselamatan dari Alloh Ta'ala, tatkala kaum muslimin ditimpa suatu marabahaya atau musibah.
Hukum qunut Nazilah adalah sunnah dilakukan setelah rukuk pada raka'at terakhir di setiap shalat fardhu, setelah mengucapkan Saami'Allahu liman hamidah.
Akan tetapi yang sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin tidak mengetahui qunut Nazilah sehingga mereka meninggalkan sama sekali sunnah ini, padahal hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali dan derajatnya shahih.16
2.1 Dalil Qunut Nazilah
1. Banyak dalil yang menjelaskan disunnahkannya qunut Nazilah, sebagaimana beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang telah lalu. Dan untuk lebih jelasnya, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini: Dari Abu Hurairah beliau berkata:
"Sungguh aku akan melakukan shalat yang mirip dengan shalat Nabi,." Lalu Abu Hurairah membaca do'a qunut setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah pada rakaat terakhir dari shalat Zhuhur, Isya', dan Shubuh; beliau mendo'akan (keselamatan) buat kaum mu'minin dan melaknat orang-orang kafir.17
2. Hadits shahih yang lain tentang qunut Nazilah adalah:
Dari Ibnu Abbas beliau berkata: "Rasulullah pernah melakukan qunut selama sebulan penuh dalam shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', dan Shubuh dalam setiap penghujung shalat setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah, pada rakaat yang terakhir, beliau mendo'akan kehancuran beberapa penduduk kampung bani Sulaim, dari (kabilah) Ri'l, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya."18
(Di Antara Cara Qunut)
Imam Membaca Qunut, Makmum Mengaminkan
Adapun yang disunnahkan bagi makmum hanyalah mengucapkan amin atas do'a imamnya. Dan termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para makmum menambah-nambahi ucapan selain mengaminkan do'a imam, seperti yang banyak mereka ucapkan, ketika imam membaca do'a qunut, mereka menjawabnya dengan ucapan amien ya Alloh, atau mereka mengucapkan subhanalloh, atau haq ya Alloh, atau asyhid! (saksikan!), dan sebagainya; hal ini didasari oleh hadits yang telah lalu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan:
...dan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya.19
Begitu juga, tidak disyariatkan membalikkan kedua tangan ketika mendo'akan kehancuran musuh/orang kafir, kemudian mengembalikan/membalikkan kedua tangan kepada posisi semula (menengadah) ketika imam mendo'akan kembali kebaikan bagi kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orang yang kita saksikan di Masjidil Haram atau yang lainnya, atau sebagaimana yang mereka lakukan yaitu membalikkan kedua tangan tatkala imam berdo'a supaya diangkat bala' dan bahaya dari kaum muslimin.20
Mengangkat Tangan Ketika Qunut
Disyariatkan bagi imam dan makmum ketika membaca qunut Nazilah dan qunut Witir untuk mengangkat kedua tangannya. Hal ini didasari oleh hadits dan atsar dari para sahabat, di antaranya sebagaimana yang dikatakan oleh Tsabit dari Anas bin Malik beliau berkata:
Sungguh aku melihat Rasulullah di setiap shalat Shubuh beliau mengangkat kedua tangannya mendo'akan kehancuran mereka (omng-orang kafir). 21
Dan Imam Baihaqi juga menerangkan bahwa telah sah dari beberapa sahabat Nabi dalam do'a qunut mereka mengangkat tangannya, seperti Umar bin Khaththab dan lainnya, dan beliau nyatakan hadits dan atsar itu, semuanya shahih.22
Tidak Mengusap Wajah Setelah Qunut
Berkata al-Izz bin Abdus Salam:
"Tidaklah mengusap wajahnya setelah berdo'a kecuali orang yang bodoh."23
Perkataan beliau di atas didasari lantaran tidak adanya satu hadits pun yang shahih tentang mengusap wajah setelah berdo'a. Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengannya semuanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena sangat lemahnya. Imam al-Baihaqi mengatakan:
"Tidak ada satu pun dari ulama salaf yang mengusap wajah setelah berdo'a."24
Imam Nawawi mengatakan:
"Tidak disunnahkan mengusap wajah setelah do'a."25
Syaikh al-Albani menyatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo'a adalah bid'ah karena hal itu tidak dicontohkan oleh panutan kita.26
3 Qunut Witir
Qunut Witir adalah do'a di penghujung shalat (Witir) yang pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada al-Hasan bin Ali, dilakukan sebelum rukuk27 atau sesudah rukuk28 pada rakaat terakhir dari shalat Witir. Adapun do'a yang dibaca:
Dari al-Hasan bin Ali beliau berkata Rasulullah mengajariku beberapa kalimat untuk aku ucapkan ketika qunut Witir (yang artinya):
"Wahai Alloh, berilah aku petunjuk seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang yang Engkau beri kesehatan, sayangilah aku seperti orang yang Engkau sayangi, berilah keberkahan pada apa yang Engkau berikan padaku, jauhkanlah aku dari kejahatan (makhluk) yang Engkau taqdirkan, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan hukuman dan tidak satu pun yang menghukum-Mu, sesungguhnya siapa yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak menjadi mulia orang yang Engkau musuhi, Maha Suci Engkau wahai Rabb kami yang Maha Tinggi."29
3.1 Do'a Setelah Shalat Witir
Disunnahkan bagi yang telah melaksanakan shalat Witir untuk mengucapkan do'a berikut ini:
Adalah Rasulullah melakukan shalat Witir tiga rakaat, dengan membaca pada rakaat pertama surat Sabbihisma Rabbikal A'la, pada rakaat kedua surat Qul ya ayyuhal kafirun, dan pada rakaat ketiga surat Qul huwa-Allohu Ahad, dan beliau membaca qunut Witir sebelum rukuk; kemudian tatkala selesai beliau membaca Subhanal Malikil Quddus (Maha Suci Alloh Sang Maharaja yang Maha Suci) diulang tiga kali, beliau memanjangkan (bacaan itu) pada akhirnya."30
4 Kesimpulan
1. Kebiasaan yang berjalan di masyarakat dengan qunut Shubuh secara terus-rnenerus disebabkan ketidaktahuan dan didasari dengan taqlid/ikut-ikutan saja.
2. Hadits-hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus (yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik) adalah sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, dan justru hadits-hadits yang sah dari Anas mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus kecuali qunut Nazilah.
3. Qunut Shubuh dengan bacaan "Allohumahdinii fiiman hadait... dst.", adalah salah kaprah karena do'a ini diajarkan oleh Nabi kepada al-Hasan bin Ali untuk do'a qunut Witir bukan qunut Shubuh.
4. Telah sah dari Nabi dan para sahabatnya, mereka melakukan qunut Nazilah setelah rukuk dalam rakaat terakhir di setiap shalat fardhu.
5. Apabila imam membaca do'a qunut, disyariatkan bagi makmum mengucapkan "amin".
6. Ketika membaca do'a qunut (baik Nazilah atau Witir), imam dan makmum mengangkat kedua tangannya.
7. Tidak disyariatkan mengusap wajah setelah do'a qunut.
8. Disunnahkan do'a qunut dalam shalat Witir baik sebelum atau sesudah rukuk dengan bacaan: "Allohumahdinii fiiman hadait... dst."
Wallohu A'lam bish-shawab.


Catatan Kaki
...16
Ta'liq Syaikh Ahmad Syakir dalam Jami' at-Tirmidzi 2/252.
...17
HR. Bukhari 1/204, Muslim 2/135, Abu Dawud 1440, Nasai 1/164, Daruquthni 178, Baihaqi 2/206, Ahmad 2/255.
...18
HR. Abu Dawud 1443, Baihaqi 2/200, Ahmad 1/301, dan lainnya; dihasankan al-Albani dalam Misykat al-Mashabih no. 1290.
...19
Lihat footnote no. 10.
...20
Lihat al-Qaulal-Mubin fi Ahtha'al-Mushallin hal. 132.
...21
HR. Baihaqi 2/211.
...22
Lihat as-Sunan al-Kubra 2/212.
...23
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 133.
...24
as-Sunan al-Kubra 2/212.
...25
Shahih al-Adzkar hal. 960.
...26
Irwa'al-Ghalil 2/172.
...27
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka'b bahwa Nabi berqunut sebelum rukuk (dishahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Abi Dawud 2/135).
...28
Sebagaimana hadits-hadits qunut setelah rukuk secara umum yang telah lalu (lihat al-Mulakhashat al-Fiqhiyyah hal. 51). Dan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Iraqi: "Telah datang (dari Nabi) hadits-hadits qunut Witir dari berbagai jalan perawi yang menunjukkan disyariatkannya qunut Witir. Sebagian hadits itu hasan, sebagian yang lain shahih, dan telah sah sunnah Nabi tentang qunut (Witir) baik sebelum atau sesudah rukuk, sedangkan kebanyakan sahabat, tabi'in, para ahli fiqh seperti Imam Ahmad dan selainnya memilih qunut (Witir) dilakukan sesudah rukuk." (Taudhihul Ahkam 2/86)
...29
HR. Abu Dawud 1425-1426, Tirmidzi 464, dan Nasai 3/248; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil 2/172.
...30
HR. Nasa'i 3/235, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Sunan Nasa'i 1699.


Disalin dari Majalah Al Furqan Edisi 10 Tahun V hal. 37-43.

Adab Imam Dalam Shalat Berjama'ah (1/4)

Ustadz.Armen Halim Naro , Rahimahullah


Ditulis Oleh: Administrator
Tuesday, 26 April 2005
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah; begitu juga dengan Khulafa' Ar Rasyidin setelah beliau. Bagaimana adab-adab imam dalam shalat berjama'ah? Silahkan baca pengantar permasalahannya yang banyak terjadi di sekitar kita.
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah "Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat," kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya. 2
Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Dan yang kedua, sangat disayangkan,
"masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu -kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah-.
"Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya.
"Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam.
"Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu'amalah dengan riba, menipu dalam bermua'amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas." 3
Catatan Kaki
...1
HR Muslim no. 436.
...2
Kitab Mulakhkhashul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
...3
Kitab Akhtha-ul Mushallin. Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.

Setelah kita mengetahui permasalahan pada pengantar di bagian pertama, maka langsung saja akan dibahas pada bagian selanjutnya mengenai siapa saja yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab yang berkaitan dengan hal tersebut. Berikut pembahasannya.
Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.
1. Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama'ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
1. Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari'at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: 4
2. Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
3. Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
4. Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika. ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih 'alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Masud Al Badri dari Rasulullah bersabda:
Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur).
Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya. 5
5. Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama'ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu disebutkan:
Tiga golongan yang, tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya. 6
Berkata Shiddiq Hasan Khan,
"Dhahir hadits yang menerangkan hal inl, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.).
Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agamaagar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya. 7
Berkata Ahmad dan Ishaq,
"Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa is shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum." 8
2. Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat.
Sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan "Allazi jaama'a maalaw wa 'addadah", dengan memanjangkan "Ja", sehingga artinya berubah dari arti 'mengumpulkan' harta, menjadi 'menyetubuhi'nya. 9 Na'uzubillah.
Catatan Kaki
...4
Ibid, halaman 1/151.
...5
HR Muslim 2/133. Lihat lrwa' Ghalil 2/256-257.
...6
HR lbnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,"Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat." Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah. Abdullah bin Amr dan Abu Umamah. Berkata Shiddiq Hasan Khan,
"Dalam bab ini, banyak hadits dari kclompok sahabat Baling menguatkan satti sama lain." (Lihat Ta'liqatur Radhivah, halaman 1/336).
...7
Ta'liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
...8
Lihat Dha'if Sunan Tirmizi, halaman 39.
...9
Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam herdiri setelah raka'at keempat pada shalat ruba'iah (empat raka'at). ketika dia berdiri, maka bertashihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh.
Tasbih makmum malah membuat imam hertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!'? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah scorang makmum menyeletuk, "Raka'atnva bertambah, Pak!!" Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui cara shalat yang benar.

Adab-adab imam selanjutnya yang akan dibahas pada bagian ketiga adalah mengenai takhfif (menyingkat) shalat dan meluruskan shaf. Apa dan bagaimana pengertian "menyingkat" dan sampai mana batasan-batasannya? Sejauh mana kewajiban dan pentingnya meluruskan shaf?
1. Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama'ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan. 10
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, -maka berlamalah sekehandaknya." 11
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari'at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam - dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum. 12
2. Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi mengerjakannya. Dari Nu'man bin Basyir (ia) berkata,
"Adalah Rasulullah meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau.
Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf, Beliaupun berkata:
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian. 13
Adalah Umar bin Khattab mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, "Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!" 14
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, "Rapat dan luruskan shaf," kemudian dia langsung bertakbir.
Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik berkata,
"Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya."
Dalam satu riwayat disebutkan,
"Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen)." 15
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshan berkata, dari Anas
Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, "Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah?" Beliau menjawab,
"Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf." 16
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah,
"Jika para jama'ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu'man; maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, Jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi.
Akan tetapi, Jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari'at. Diantaranya: 17
1. Membiarkan celah untuk syetan dan Allah putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda,
"Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan.
"Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya." 18
2. Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama'ah.
3. Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah,
Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo'akan kepada orang yang menyambung shaf. 19
Catatan Kaki
...10
Shalatul Jama'ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
...11
HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199. no. 703.
...12
Shalatul Jumu'ah, halmnan 166-167.
...13
HR. Muslim no. 436.
...14
Lihat Jami' Tirmidzi, 1/439; Muwaththa'. 1/173 dan Al Umm, 1/233.
...15
HR Abu Ya'la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
...16
HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
...17
Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
...18
HR Abu Daud dalam Sunan. no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
...19
HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang Iainnya. Hadistnya shahih.

Bagian terakhir dari adab-adab imam dalam shalat adalah membahas tentang sutrah, meletakkan orang-orang yang sudah baligh di belakang imam, dan juga dianjurkan untuk memanjangkan sedikit ruku'nya jika merasa ada makmum masbuk yang baru bergabung. Ingin tau penjelasan selengkapnya?
1. Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah,
Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar. 20
2. Membuat sutrah 21 ketika hendak shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat masyhur. Diantaranya hadits Ibnu Umar,
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia, sesungguhnya bersamanya jin. 22
Sedangkan dalam shalat berjama'ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan para ulama'. 23
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau bersabda,
Jika ada orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosanya itu- red. vbaitullah), niscaya dia berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata, "Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red. majalah Assunnah) empat puluh hari, atau bulan atau tahun. 24
3. Menasihati jama'ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku' atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk ditaati.
Imam Ahmad berkata,
Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku' dan sujud.
Janganlah mereka ruku' dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar ruku' dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam.
Dan hendaklah dia berbalik dalam mengajarkan mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam memperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya.
Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya. 25
4. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku' agar memanjangkan sedikit ruku'nya, manakala terasa ada yang masuk (sebagai masbuk -red. vbaitullah), sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka'at, selagi tidak memberatkan ma'mum. Karena kehormatan orang-orang yang ma'mum lebih mulia dari kehormatan yang masuk tersebut. 26
Catatan Kaki
...20
HR. Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
...21
Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, hal. 83. Namun terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, Wallahu a'lam -red. vbaitullah.
...22
HR. Muslim no. 260 dan yang lain.
...23
Fathul Bari, 1/572.
...24
HR. Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
...25
Kitab Shalat, hal. 47-48, nukilan dari kitab "Akhtha-ul Mushallin", hal. 254.
...26
Al-Mulakhkhashul Fiqhi, hal. 159.
________________________________________

Dikutip dari majalah As-Sunnah 07/VII/1421H hal 45 - 46

Hakikat Sururiyah

Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah

Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Semoga Allah menjaga Anda. Sering sekali kita mendengar tentang Sururiyah, harap Anda jelaskan hakikatnya ..! jazakumullahu khairan..

Jawaban.
Sururiyah termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah berbicara tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang telah banyak meneliti pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya, Sururiyah adalah : Mereka yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal Abidin, yang di dalam manhajnya ada penyelewengan dari manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah da'wah dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari manhaj-manhaj lain seperti manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya.

Dan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya sebagian mereka -terkadang berpemikiran sesuai dengan pemikirannya pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau tidak. Akan tetapi tidak benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka, tapi dia telah menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam pikiran mereka sebagaimana penyimpangan itu terbetik dalam pikiran Sururiyyin, maka tidak boleh kita memecah belah manusia.

Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho
dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya, karena ada sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat mereka. Maka kita tidak boleh memecah belah, sebab jika kita golong-golongkan manusia dan menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk kembali kepada al-haq setelah itu, lain halnya jika kita katakan : Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini, kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.

Kemudian, pengetahuan tantang jamaah-jamaah yang ada pada zaman sekarang dan pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang penuntut ilmu dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global, sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahuanhu : Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya, dalam hal ini dengan mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan diri dengan perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang ditulis Fulan tentang mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini akan memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek

Maka kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pooko aqidah Ahlus Sunnah, dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syari yang dengannya kita dapat membedakan ahlul haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya maka tak akan terpengaruh dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau tidak, karena kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah ahlus sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita tidak butuh untuk mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang dengannya kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah dalam masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si Fulan pantas untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui kaidahnya, kita dapat menerapkannya pada orang lain.

Oleh karena itu, manusia butuh pada ilmu syari dan dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan manusia, menukil perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan kita dari menuntut ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan berupa bidah dan perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri dengan ilmu dan tashil, kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam bermuamalah dengan yang menyimpang.


[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]