Oleh: Ibnu Al-Jauzy
Barangsiapa yang berpikir dalam-dalam dan seksama tentang akhir kehidupan dunia, ia akan senantiasa waspada. Barangsiapa yang yakin akan betapa panjangnya jalan yang akan ditempuh, maka ia akan menyiapkan bekal sebaik-baiknya. Alangkah anehnya manusia yang yakin akan sesuatu, namun ia melupakannya dan betapa anehnya mereka yang mengetahui bahaya sesuatu, namun ia juga menutup mata! Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ
” Kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS Al-Ahzab [33] : 37)
Anda tahu bahwa anda dikalahkan oleh hawa nafsu anda, dan anda tahu bahwa anda tak sanggup menaklukkannya. Alangkah anehnya jika anda merasa gembira dengan ketertipuan anda dan larut dalam kealpaan terhadap hal yang tersembunyi di dalam diri anda. Anda terperdaya oleh kesehatan anda, namun anda lupa betapa dekat penyakit dengan diri anda. Telah anda saksikan dengan mata kepala anda sendiri tempat pembaringan akhir anda dan telah ditampakkan kehadapan anda ranjang-ranjang kematian oleh orang-orang yang ada di sekitar anda. Sungguh anda telah tenggelam dan hanyut dalam kelezatan-kelezatan duniawi, hingga anda melupakan kehancuran diri anda sendiri.
Engkau laksana tiada mendengar kabar mereka yang telah lalu
Tidak pula engkau melihat waktu memperlakukan teman-temanmu
Jika engkau tak sadar bahwa itulah rumah-rumah mereka yang abadi
Kubur-kubur mereka lenyap diterpa angin yang menderu
Betapa banyaknya, anda melihat, para penghuni yang tak pernah memasuki rumahnya sendiri, sebelum mereka dipaksa memasukinya! Betapa banyak pemilik singgasana yang terusir oleh musuh-musuh yang kemudian menguasai istananya. Wahai siapa saja yang detik-detik kehidupannya terus melaju, betapa anehnya mereka, seperti manusia yang tak tahu dan tak mengerti apa-apa.
Bagaimana bisa matanya lelap terpejam
Padahal ia tak tahu kemana akan kembali
Sumber: Shaidul Khatir (edisi Indonesia) oleh Imam Ibnu Al-Jauzy
Saturday, March 20, 2010
Wednesday, March 17, 2010
Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid
Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka
Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?
Orang-orang yang salah sangka
Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])
Haram bicara agama tanpa ilmu!
Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)
Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)
al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])
Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).
Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).
Berbuat dosa kok mengharap pahala?
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)
al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Berjihadlah!
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ
“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)
Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!
Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!
Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)
al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)
Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!
Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!
al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!
Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)
Ibnu Hajar mengatakan,
والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك
“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)
as-Syahrastani mengatakan,
كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان
“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)
Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.
Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H
***
Penulis: Ustadz Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka
Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?
Orang-orang yang salah sangka
Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])
Haram bicara agama tanpa ilmu!
Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)
Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)
al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])
Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).
Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).
Berbuat dosa kok mengharap pahala?
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)
al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Berjihadlah!
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ
“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)
Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!
Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!
Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)
al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)
Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!
Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!
al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!
Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)
Ibnu Hajar mengatakan,
والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك
“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)
as-Syahrastani mengatakan,
كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان
“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)
Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.
Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H
***
Penulis: Ustadz Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tuesday, March 16, 2010
Nasehat dari Bumi Perantauan kepada Sanak Saudaraku di Kampung Halaman [bagian 3]
Ketentuan yang Perlu Diketahui Tentang Ibadah
Seseorang yang berada dalam kesulitan ia akan menempuh segala jalan yang mungkin menjanjikan keselamatan, bagaikan seorang yang dibawa air bah, ia akan berpegang kepada apa saja sekalipun akan berpegang kepada ekor ular. Itu perumpamaan yang diberikan oleh nenek moyang kita di masa dulu. Sehingga sampai pada titik melakukan sesuatu ibadah yang tidak ada aturannya dalam syariat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sanak saudara kita pada tgl 7 April 2005 dengan melakukan shalat Dhuha secara berjamaah di lapangan Taman Budaya Padang dengan bacaan di jahrkan (dikeraskan -red), perbuatan ini timbul mungkin karena kurangnya ilmu. Sebaiknya kalau tidak tahu kenapa tidak mau bertanya kepada orang yang lebih tahu?
Allah perintahkan:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43)
Bahkan Allah melarang kita untuk melakukan sesuatu urusan yang kita tidak memiliki ilmu tentang hal itu:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kesemuanya itu akan ditanya.” (QS. Al Israa’: 36)
Mempercayakan suatu urusan kepada seorang yang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan tiba. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan datang.” (HR. Imam Muslim no. 59)
Dalam urusan dunia saja kita tidak bisa mempercayakan sebuah urusan kepada yang bukan pakarnya, Apabila kita sakit gigi umpamanya kita akan berobat kepada dokter spesialis gigi, bukan kepada dokter umum, begitu pula bila butuh kepada seorang tenaga ahli tentang kelistrikan umpamanya, maka orang yang akan kita cari adalah orang yang berpendidikan dalam bidang tersebut, serta mendapat pengakuan dari orang-orang yang berkompeten dalam bidang tersebut. Tapi suatu hal sangat aneh dan mengherankan kenapa seseorang dalam urusan agama begitu percaya kepada siapa saja yang penting pintar bercerita dan berceloteh memakai jubah dan sorban, sudah dianggap kiai atau wali. Dan yang lebih menyedihkan sekali kalau ada pula orang yang lebih bangga mendalami Islam ke negara kafir, lalu pulang mempretel hukum-hukum Islam yang sudah baku dengan seketika langsung disanjung dan mendapat predikat intelek. Sedangkan untuk merubah sebuah UUD saja butuh kepada berbagai pertimbangan dan penelitian serta memakan waktu yang cukup lama. Tapi satu hal yang sangat menakjubkan dan mengherankan kenapa dalam merubah hukum-hukum Allah setiap orang berani melakukannya tanpa ada rasa ragu dan malu. Apakah Mereka lebih menghormati UUD bikinan manusia dari hukum-hukum yang diturunkan Allah?
Atau karena ada niat dari belakang itu untuk mencapai sebuah ketenaran, pangkat dan jabatan. Sungguh merugi sekali orang yang menjual agamanya dengan secuil kesenangan duniawi.
Perhatikanlah firman Allah berikut ini,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ . أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dalamnya tidak dirugikan sedikitpun. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat segala apa yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Dalam ayat lain disebutkan:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآَخِرَةِ فَلاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنصَرُونَ
“Mereka itu orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, maka tidak akan diringankan siksaan mereka dan mereka juga tidak akan ditolong.” (QS. Al Baqarah: 86)
Atau mungkin karena merasa sudah sampai kepada tingkat wali, sehingga sudah berhak untuk membikin cara-cara tersendiri dalam agama?! kalau merasa sebagai wali tentu tidak ada yang bisa melebihi kewalian para Khalifah Rasyidin tapi tidak seorangpun di antara Mereka yang melakukan hal seperti itu.
Maka tidak ragu lagi bahwa perbuatan tersebut adalah kesesatan yang dibikin-bikin dalam agama. Kekeliruan yang terdapat dalam perlaksanaan shalat tersebut sangat banyak diantaranya;
1. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha dalam bentuk berjamaah. Para ulama menerangkan bahwa asal dari shalat-shalat sunat itu dikerjakan sendiri-sendiri, terkecuali shalat ‘Ied, shalat Istisqa (minta hujan), shalat gerhana dan shalat tarawih, adapun shalat Dhuha tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat melakukannya secara berjamaah.
2. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha di lapangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahwa seafdhal-afdhal shalat manusia adalah di rumah kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 698. dan Muslim no. 781). Terkecuali shalat ‘Ied dan Istisqa.
3. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjahrkan (mengeraskan) bacaan dalam shalat Dhuha. Yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengsirkan bacaan (tidak dikeraskan). Adapun ayat yang dibaca adalah surat Al Kafiruun pada rakaat pertama dan surat Al Ikhlas pada rakaat yang kedua.
4. Tidak adanya anjuran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya melakukan shalat Duha sa’at ditimpa bencana atau musibah gempa atau yang serupa.
5. Tidak ada seorangpun ulama dari sepanjang masa dari seluruh mazhab yang berpendapat seperti itu.
Oleh sebab itu para ulama menegaskan; “Bahwa asal melakukan suatu ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan, dan asal dalam suatu muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan”. Dalam ungkapan lain Mereka tegaskan: “bahwa dalam urusan ibadah tidak ada perkara ijtihad, berbeda dengan urusan muamalah maka dalamnya ada perkara ijtihad selama tidak ditemukannya dalil yang telah memutuskan hukumnya.” Atau di sebut juga dalam ungkapan lain bahwa urusan ibadah adalah Tauqifiyah (tergantung kepada adanya dalil dari al-Qur’an atau Sunnah memerintahkannya)
Pernyataan ulama di atas didukung oleh banyak dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, berikut kita sebutkan sebagian kecil saja di antara dalil-dalil tersebut.
1. Firman Allah yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. Al Maidah: 3)
Dalam ayat di atas Allah tegaskan bahwa agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi untuk di tambah-tambah oleh siapapun. Sesuatu yang telah sempurna bila ditambah akan menjadi rusak. Contoh; sebuah adonan kue yang sudah pas ukuran bahan-bahannya, lalu ada orang yang iseng menambah salah satu bahan kue tersebut, maka rasa kue akan rusak. Oleh sebab itu para ulama men-cap orang yang melakukan bid’ah sebagi orang perusak.
2. Firman Allah yang berbunyi:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً . الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
“Katakanlah: Maukah kamu, kami beri tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatanya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedang Mereka mengira; bahwa Mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Para ulama tafsir mengomentari ayat ini bahwa isinya menggambarkan perbuatan orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama. yang mana Mereka mengira apa yang Mereka lakukan itu amat baik sekali, tetapi yang sebenarnya adalah kerugian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kerugian di dunia buang-buang tenaga dan waktu, adapun kerugian di akhirat mendapat azab dari Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Mereka telah berbohong atas nama Allah serta telah menyesatkan orang banyak.
3. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan(agama) kami ini apa yang tidak termasuk ke dalamnya, maka amalannya ditolak.” Dalam lafatz yang lain berbunyi: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak termasuk dalam urusan (agama) kami, maka amalannya ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Hati-hatilah kalian terhadap berbagai hal yang baru dalam agama, sesungguhnya setiap yang baru dalam agama itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (lihat: Khutbatulhaajah Al Albany)
5. Perkataan Imam Malik: “Barang siapa yang melakukan bid’ah berarti dia telah menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah.”
Oleh sebab itu para ulama selalu menegaskan dalam kitab-kitab Mereka bahwa sebuah amalan tidak akan diterima kecuali telah terpenuhinya dua syarat;
Pertama: Ikhlas kepada Allah ta’ala.
Kedua: Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah seseorang tersebut tidak akan diterima Allah. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir: 1/155)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh dalam menafsirkan firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, Supaya Dia menguji kamu siapa diantara kamu yang terbaik amalannya.” (QS. Al Mulk: 2)
Kata Imam Fudhail: “Amalan yang terbaik itu adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Lalu ia ditanya: apa bentuknya yang paling ikhlas dan paling benar? Imam Fudhail menjawab: sesungguhnya sebuah amalan bila ikhlas tetapi tidak benar tidak akan diterima, begitu pula bila sebuah amalan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai menjadi ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah bila semata ditujukan bagi Allah, dan yang benar adalah bila dilakukan menurut Sunnah.” (lihat: Daqaiq Tafsir 2/170)
Mungkin seseorang akan berkata: inikan bid’ah hasanah, jawabnya adalah: tidak ada bid’ah hasanah dalam agama, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kita sebutkan di atas bahwa seluruh bi’ah adalah sesat. Kalau ada bid’ah yang hasanah dalam agama tidak ada lagi bid’ah dalam agama, karena setiap pelaku bid’ah menganggap bid’ah yang dilakukannya adalah hasanah.
Atau seseorang akan berdalil pula dengan perbuatan khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan kaum muslimin shalat tarawih secara berjamaah. jawabannya: shalat tarawih berjamaah bukan pertama kali dilakukan pada waktu kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu, tetapi sudah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah beliau melakukannya beberapa malam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya karena takut akan turun wahyu yang mewajibkannya. Seandainya kita anggap hal itu baru pertama kali dilakukan pada masa Umar radhiyallahu ‘anhu. Tetapi kita disuruh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikut Sunnahnya para khalifah Rasyidin dengan sabda beliau: “Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kalian akan melihat perpecah-belahan yang banyak, maka ikutilah oleh kalian Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin“. Begitu pula halnya dengan azan kedua pada hari Jum’at yang diadakan pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Apakah orang-orang selain Mereka mendapat mandat dari Rasulullah untuk diikuti bila Mereka melakukan bid’ah dalam agama? Jawabnya: pasti tidak.
Sebagai penutup dengarlah nasihat Imam Fudhail bin ‘Iyadh: “Tetaplah kamu di atas jalan kebenaran, janganlah kamu merasa asing karena sedikit orang yang melaluinya. Jauhilah olehmu jalan kebatilan, Jangan kamu tertipu karena banyaknya orang yang binasa.”
Kami cukupkan sampai di sini mudah-mudahan ada manfaatnya bagi penulis sendiri begitu juga bagi para pembacanya, bila anda merasakan tulisan ini bermanfaat bagikanlah kepada siapa yang ingin memilikinya.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurang dari pahala Mereka sedikitpun.” (HR. Imam Muslim no. 2674)
Shalawat dan salam buat Nabi kita, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang berpegang teguh dengan ajarannya sampai hari kiamat.
Madinah Al Munawwarah, Jum’at, 8 April 2005 M, Bertepatan dengan 29 Safar 1426 H
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Seseorang yang berada dalam kesulitan ia akan menempuh segala jalan yang mungkin menjanjikan keselamatan, bagaikan seorang yang dibawa air bah, ia akan berpegang kepada apa saja sekalipun akan berpegang kepada ekor ular. Itu perumpamaan yang diberikan oleh nenek moyang kita di masa dulu. Sehingga sampai pada titik melakukan sesuatu ibadah yang tidak ada aturannya dalam syariat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sanak saudara kita pada tgl 7 April 2005 dengan melakukan shalat Dhuha secara berjamaah di lapangan Taman Budaya Padang dengan bacaan di jahrkan (dikeraskan -red), perbuatan ini timbul mungkin karena kurangnya ilmu. Sebaiknya kalau tidak tahu kenapa tidak mau bertanya kepada orang yang lebih tahu?
Allah perintahkan:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43)
Bahkan Allah melarang kita untuk melakukan sesuatu urusan yang kita tidak memiliki ilmu tentang hal itu:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kesemuanya itu akan ditanya.” (QS. Al Israa’: 36)
Mempercayakan suatu urusan kepada seorang yang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan tiba. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang akan datang.” (HR. Imam Muslim no. 59)
Dalam urusan dunia saja kita tidak bisa mempercayakan sebuah urusan kepada yang bukan pakarnya, Apabila kita sakit gigi umpamanya kita akan berobat kepada dokter spesialis gigi, bukan kepada dokter umum, begitu pula bila butuh kepada seorang tenaga ahli tentang kelistrikan umpamanya, maka orang yang akan kita cari adalah orang yang berpendidikan dalam bidang tersebut, serta mendapat pengakuan dari orang-orang yang berkompeten dalam bidang tersebut. Tapi suatu hal sangat aneh dan mengherankan kenapa seseorang dalam urusan agama begitu percaya kepada siapa saja yang penting pintar bercerita dan berceloteh memakai jubah dan sorban, sudah dianggap kiai atau wali. Dan yang lebih menyedihkan sekali kalau ada pula orang yang lebih bangga mendalami Islam ke negara kafir, lalu pulang mempretel hukum-hukum Islam yang sudah baku dengan seketika langsung disanjung dan mendapat predikat intelek. Sedangkan untuk merubah sebuah UUD saja butuh kepada berbagai pertimbangan dan penelitian serta memakan waktu yang cukup lama. Tapi satu hal yang sangat menakjubkan dan mengherankan kenapa dalam merubah hukum-hukum Allah setiap orang berani melakukannya tanpa ada rasa ragu dan malu. Apakah Mereka lebih menghormati UUD bikinan manusia dari hukum-hukum yang diturunkan Allah?
Atau karena ada niat dari belakang itu untuk mencapai sebuah ketenaran, pangkat dan jabatan. Sungguh merugi sekali orang yang menjual agamanya dengan secuil kesenangan duniawi.
Perhatikanlah firman Allah berikut ini,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ . أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dalamnya tidak dirugikan sedikitpun. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat segala apa yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Dalam ayat lain disebutkan:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُاْ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآَخِرَةِ فَلاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنصَرُونَ
“Mereka itu orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, maka tidak akan diringankan siksaan mereka dan mereka juga tidak akan ditolong.” (QS. Al Baqarah: 86)
Atau mungkin karena merasa sudah sampai kepada tingkat wali, sehingga sudah berhak untuk membikin cara-cara tersendiri dalam agama?! kalau merasa sebagai wali tentu tidak ada yang bisa melebihi kewalian para Khalifah Rasyidin tapi tidak seorangpun di antara Mereka yang melakukan hal seperti itu.
Maka tidak ragu lagi bahwa perbuatan tersebut adalah kesesatan yang dibikin-bikin dalam agama. Kekeliruan yang terdapat dalam perlaksanaan shalat tersebut sangat banyak diantaranya;
1. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha dalam bentuk berjamaah. Para ulama menerangkan bahwa asal dari shalat-shalat sunat itu dikerjakan sendiri-sendiri, terkecuali shalat ‘Ied, shalat Istisqa (minta hujan), shalat gerhana dan shalat tarawih, adapun shalat Dhuha tidak ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat melakukannya secara berjamaah.
2. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Dhuha di lapangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahwa seafdhal-afdhal shalat manusia adalah di rumah kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 698. dan Muslim no. 781). Terkecuali shalat ‘Ied dan Istisqa.
3. Tidak adanya tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjahrkan (mengeraskan) bacaan dalam shalat Dhuha. Yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengsirkan bacaan (tidak dikeraskan). Adapun ayat yang dibaca adalah surat Al Kafiruun pada rakaat pertama dan surat Al Ikhlas pada rakaat yang kedua.
4. Tidak adanya anjuran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya melakukan shalat Duha sa’at ditimpa bencana atau musibah gempa atau yang serupa.
5. Tidak ada seorangpun ulama dari sepanjang masa dari seluruh mazhab yang berpendapat seperti itu.
Oleh sebab itu para ulama menegaskan; “Bahwa asal melakukan suatu ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan, dan asal dalam suatu muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkan”. Dalam ungkapan lain Mereka tegaskan: “bahwa dalam urusan ibadah tidak ada perkara ijtihad, berbeda dengan urusan muamalah maka dalamnya ada perkara ijtihad selama tidak ditemukannya dalil yang telah memutuskan hukumnya.” Atau di sebut juga dalam ungkapan lain bahwa urusan ibadah adalah Tauqifiyah (tergantung kepada adanya dalil dari al-Qur’an atau Sunnah memerintahkannya)
Pernyataan ulama di atas didukung oleh banyak dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, berikut kita sebutkan sebagian kecil saja di antara dalil-dalil tersebut.
1. Firman Allah yang berbunyi:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan untukmu nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. Al Maidah: 3)
Dalam ayat di atas Allah tegaskan bahwa agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi untuk di tambah-tambah oleh siapapun. Sesuatu yang telah sempurna bila ditambah akan menjadi rusak. Contoh; sebuah adonan kue yang sudah pas ukuran bahan-bahannya, lalu ada orang yang iseng menambah salah satu bahan kue tersebut, maka rasa kue akan rusak. Oleh sebab itu para ulama men-cap orang yang melakukan bid’ah sebagi orang perusak.
2. Firman Allah yang berbunyi:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً . الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
“Katakanlah: Maukah kamu, kami beri tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatanya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedang Mereka mengira; bahwa Mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104)
Para ulama tafsir mengomentari ayat ini bahwa isinya menggambarkan perbuatan orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama. yang mana Mereka mengira apa yang Mereka lakukan itu amat baik sekali, tetapi yang sebenarnya adalah kerugian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kerugian di dunia buang-buang tenaga dan waktu, adapun kerugian di akhirat mendapat azab dari Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Mereka telah berbohong atas nama Allah serta telah menyesatkan orang banyak.
3. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Barang siapa yang menambah-nambah dalam urusan(agama) kami ini apa yang tidak termasuk ke dalamnya, maka amalannya ditolak.” Dalam lafatz yang lain berbunyi: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak termasuk dalam urusan (agama) kami, maka amalannya ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi: “Hati-hatilah kalian terhadap berbagai hal yang baru dalam agama, sesungguhnya setiap yang baru dalam agama itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (lihat: Khutbatulhaajah Al Albany)
5. Perkataan Imam Malik: “Barang siapa yang melakukan bid’ah berarti dia telah menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah.”
Oleh sebab itu para ulama selalu menegaskan dalam kitab-kitab Mereka bahwa sebuah amalan tidak akan diterima kecuali telah terpenuhinya dua syarat;
Pertama: Ikhlas kepada Allah ta’ala.
Kedua: Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah seseorang tersebut tidak akan diterima Allah. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir: 1/155)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh dalam menafsirkan firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, Supaya Dia menguji kamu siapa diantara kamu yang terbaik amalannya.” (QS. Al Mulk: 2)
Kata Imam Fudhail: “Amalan yang terbaik itu adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Lalu ia ditanya: apa bentuknya yang paling ikhlas dan paling benar? Imam Fudhail menjawab: sesungguhnya sebuah amalan bila ikhlas tetapi tidak benar tidak akan diterima, begitu pula bila sebuah amalan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai menjadi ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah bila semata ditujukan bagi Allah, dan yang benar adalah bila dilakukan menurut Sunnah.” (lihat: Daqaiq Tafsir 2/170)
Mungkin seseorang akan berkata: inikan bid’ah hasanah, jawabnya adalah: tidak ada bid’ah hasanah dalam agama, sebagaimana yang terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah kita sebutkan di atas bahwa seluruh bi’ah adalah sesat. Kalau ada bid’ah yang hasanah dalam agama tidak ada lagi bid’ah dalam agama, karena setiap pelaku bid’ah menganggap bid’ah yang dilakukannya adalah hasanah.
Atau seseorang akan berdalil pula dengan perbuatan khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika ia mengumpulkan kaum muslimin shalat tarawih secara berjamaah. jawabannya: shalat tarawih berjamaah bukan pertama kali dilakukan pada waktu kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu, tetapi sudah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah beliau melakukannya beberapa malam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya karena takut akan turun wahyu yang mewajibkannya. Seandainya kita anggap hal itu baru pertama kali dilakukan pada masa Umar radhiyallahu ‘anhu. Tetapi kita disuruh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikut Sunnahnya para khalifah Rasyidin dengan sabda beliau: “Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kalian akan melihat perpecah-belahan yang banyak, maka ikutilah oleh kalian Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin“. Begitu pula halnya dengan azan kedua pada hari Jum’at yang diadakan pada masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Apakah orang-orang selain Mereka mendapat mandat dari Rasulullah untuk diikuti bila Mereka melakukan bid’ah dalam agama? Jawabnya: pasti tidak.
Sebagai penutup dengarlah nasihat Imam Fudhail bin ‘Iyadh: “Tetaplah kamu di atas jalan kebenaran, janganlah kamu merasa asing karena sedikit orang yang melaluinya. Jauhilah olehmu jalan kebatilan, Jangan kamu tertipu karena banyaknya orang yang binasa.”
Kami cukupkan sampai di sini mudah-mudahan ada manfaatnya bagi penulis sendiri begitu juga bagi para pembacanya, bila anda merasakan tulisan ini bermanfaat bagikanlah kepada siapa yang ingin memilikinya.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurang dari pahala Mereka sedikitpun.” (HR. Imam Muslim no. 2674)
Shalawat dan salam buat Nabi kita, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang berpegang teguh dengan ajarannya sampai hari kiamat.
Madinah Al Munawwarah, Jum’at, 8 April 2005 M, Bertepatan dengan 29 Safar 1426 H
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Nasehat dari Bumi Perantauan kepada Sanak Sudaraku di Kampung Halaman [bagian 2]
Menyuruh Kepada yang Mungkar Mencegah dari yang Ma’ruf Adalah Sikap Orang-Orang Munafik
Sikap menentang dan menolak kebenaran atau kebiasaan menyuruh kepada yang mungkar dan mencegah dari berbuat ma’ruf adalah tingkah laku orang-orang munafik. Sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian mereka dari bagian yang lainnya, Mereka menyuruh kepada yang mungkar dan mencegah dari yang ma’ruf.” (QS. At Taubah: 67)
Hendaklah orang yang suka mempermainkan ayat-ayat tentang wajibnya berhijab merenungkan ayat di atas apakah anda termasuk yang menyuruh kepada yang makruf atau menyuruh kepada yang mungkar?
Sebagian manusia ada yang pintar dalam bersilat lidah ketika mereka diajak untuk mengikuti kebenaran dan berhenti dari melakukan kerusakan. Sehingga akibat dari tindakannya tersebut telah terjadi kerusakan dalam segala jaring kehidupan. Bahkan kerusakan yang ditimbulkannya tidak hanya terbatas pada manusia semata tapi menimpa tumbuh-tumbuhan dan hewan yang melata. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ{204} وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيِهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَادَ . وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, pada hal ia adalah penentang yang keras. Dan apabila dia berpaling (dari kamu) ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan di atasnya, ia merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan. Dan bila dikatakan (kepadanya): Takutlah kamu kepada Allah”, bangkit kesombongannya yang menyebabkannya (semakin) berbuat dosa, maka cukuplah neraka jahanam baginya, dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Al Baqarah: 204-206)
Orang yang suka menyebarkan pemikiran keji serta menginginkan tersebarnya kekejian tersebut di kalangan orang-orang yang beriman Allah telah menyediakan balasan yang setimpal untuk Mereka di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka untuk tersiarnya kekejian di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nuur: 19)
Masihkah belum cukup ancaman di atas bagi orang yang suka membikin cerita-cerita porno, memperjualbelikan CD porno, menayangkan film-film porno?
Betapa banyak orang yang telah menikmati kemaksiatan yang anda sebar, sebanyak itu pula dosa yang harus anda pikul.
Allah berfirman:
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالاً مَّعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُون
“Dan Sesungguh Mereka akan memikul dosa-dosa Mereka dan dosa-dosa orang (yang Mereka sesatkan dan Mereka akan ditanya terhadap apa yang Mereka dustakan.” (QS. Al Ankabuut: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam sabdanya: “Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan dia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari dosa-dosa Mereka sedikitpun.” (HR. Imam Muslim no: 2674)
Bencana Adalah Buah Dosa Perbuatan Manusia
Allah telah berulang kali memberikan teguran kepada bangsa kita, tapi sedikit di antara kita yang mampu menimba kesadaran dari itu semua. Yang masih segar dalam pandangan dan ingatan kita gempa dan tsunami yang memorak-porandakan beberapa negara, tentu yang sangat terkesan sekali di hati kita apa yang berada di samping kita yaitu Aceh dan gempa Nias, tapi apakah hal itu membuat kita semakin tunduk kepada kebesaran Allah? Atau sebaliknya?!
Bumi yang kita pijak, udara yang kita hirup, air yang kita minum setiap detik kita pergunakan dalam rangka melakukan maksiat kepada Allah. Lupakah kita dengan firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memberitahukan: Jika kamu bersyukur, sungguh Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan tetapi jika kamu mengkufuri (nikmat tersebut) sesungguhnya azabKu amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Dan firman-Nya lagi:
مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ
“Allah tidak akan mengazabmu jika kamu bersyukur dan beriman.” (QS. An Nisaa’: 147)
Segala fasilitas yang diberikan Allah, kita manfaatkan untuk durhaka pada-Nya mulai dari mata, telinga dan lidah kita pergunakan untuk hal yang haram, untuk film-film, nyanyi-nyanyian dan berkata bohong. Makan dan minum serta pakaian kita bersumber dari usaha yang haram, mungkin dari hasil rampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, sogok, atau hasil tipuan, lacuran, judi, penjualan CD porno dan seterusnya. Itulah diri kita, apakah kita tidak pantas untuk diazab? Di mana Allah akan mengabulkan do’a kita sementara keadaan kita selalu bergelimang dengan segala hal yang haram? Perhatikanlah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang yang menemui kelelahan dalam perjalanan yang panjang, dalam kondisi seluruh tubuhnya di penuhi debu, lalu dia mengangkat kedua telapak tangannya ke langit sambil berdoa: Ya Tuhanku, Ya Tuhanku. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bagaimana Allah akan mengabulkan doanya, sedangkan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dia dibesarkan dari yang haram?” (HR. Imam Muslim no. 1015)
Dari hadits di atas jelas sekali bagaimana akibat dari menikmati sesuatu yang haram, sekalipun dia dalam kondisi yang sangat membantu supaya dikabulkan doanya. Karena dalam sebuah hadits lain disebutkan bahwa do’a musafir itu terkabul sekali, tapi ada hal yang menghalanginya yaitu memakan harta yang haram. Kisah di atas bisa untuk memperbandingkan dan menilai kondisi kita.
Tapi Allah masih memberikan waktu kepada kita untuk bertaubat, untuk kembali kepadanya, apakah kita akan menunda-nunda taubat itu, sampai azab Allah yang lebih besar lagi datang kepada kita? Mari kita simak firman Allah berikut:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Jikalau Allah menyiksa manusia (sesuai) dengan kezaliman Mereka, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) Mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), Mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An Nahl: 61)
Dalam ayat yang lain berbunyi:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيراً
“Dan jikalau Allah menyiksa manusia dengan segala apa yang Mereka usahakan, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) Mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Faathir: 45)
Simak lagi kalam Ilahi:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ . أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ . أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ . أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Dan jika sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada Mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi Mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami menyiksa Mereka dengan apa yang Mereka usahakan. Maka apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di malam hari di waktu Mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada waktu dhuha ketika Mereka sedang bermain-main? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari ancaman azab Allah (yang tanpa diduga-duga)? Tidaklah yang merasa aman dari ancaman azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raaf: 96-99)
Itulah janji dan ancaman Allah bagi umat manusia yang tidak mau beriman dan bertakwa, Allah nyatakan pula dalam ayat di atas bahwa kesejahteraan dan kemakmuran hanya dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya. Allah tidak akan mengazab penduduk suatu negeri kecuali Mereka itu telah melampaui batas dalam kezaliman Mereka, baik terhadap diri Mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Allah katakan dalam ayat yang lain:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan berbagai negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Huud: 117)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan Kami tidak pernah menghancurkan berbagai negeri kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al Qashash: 59)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dalam sabdanya: “Tidaklah seorang hamba ditimpa sebuah bencana baik besar maupun kecil kecuali dengan sebab dosa, dan apa yang dimaafkan Allah jauh lebih banyak.” (HR. At Tirmizi no: 3252) kemudian beliau membaca firman Allah:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kamu, maka adalah dengan sebab usaha tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu.” (Q.S. Asy Syura: 30)
Yang lebih konyol adalah bila seseorang berpikir bahwa dia mampu lari dari azab Allah, seperti yang beberapa kali terjadi di Kota Padang ketika adanya isu tsunami atau datang gempa Mereka berhamburan keluar rumah dan berusaha untuk mencari tempat yang tinggi seperti lari ke arah Indarung atau ke arah Limau Manis. Sekalipun menyelamatkan diri tidak dilarang dalam Islam. Tapi kalau Allah sudah menentukan sesuatu, kemanapun kita akan lari sebagai makhluk yang lemah lagi hina, cukup dengan tersandung kerikil saja kita bisa mati di tempat. Bukankah seluruh apa yang ada di muka bumi di bawah kekuasaan Allah semata. Kalau Allah berkehendak segala sesuatu bisa membinasakan manusia, seperti angin taufan, air bah, banjir, gempa, ledakan gunung api dan segala macamnya. Sebagaimana kaum Fir’aun diazab dengan taufan, belalang, kutu dan katak. Yang amat perlu untuk dipersiapkan bukanlah kendaraan untuk lari tapi keimanan dan amal saleh serta bertaubat kepada Allah. Jangan kita berprasangka bila umur kita panjang, harta kita banyak, berarti Allah menyayangi kita, sementara kita bergelimang dosa setiap saat. Allah sebutkan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala Mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada Mereka, Kami bukakan untuk Mereka semua pintu kesenangan, sehingga saat Mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada Mereka, Kami siksa Mereka dengan secara tiba-tiba, maka ketika itu Mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’aam: 44)
Betapa banyaknya orang kafir yang berumur panjang dan memiliki harta yang berlimpah ruah tapi itu adalah tipuan untuk Mereka. Sebenarnya Allah sangat benci kepada Mereka oleh sebab itu Allah memanjangkan umur Mereka dalam kekafiran, sehingga semakin panjang pula azab yang harus Mereka terima. Dan semakin banyak pula nikmat yang harus Mereka pertanggung jawabkan, maka berlipat gandalah azab yang harus Mereka terima. Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ إِثْماً وَلَهْمُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa Kami menangguhkan (azab) atas Mereka adalah kebaikan untuk mereka, sesungguhnya kami menangguhkan (azab) atas mereka hanyalah supaya dosa Mereka semakin bertambah; dan bagi Mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imran: 178)
Bila Allah menurunkan sebuah azab atas sekelompok umat, Allah tidak akan pilih yang berbuat dosa saja tapi azab tersebut akan menimpa seluruhnya sekalipun orang-orang saleh. Sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila maksiat telah tersebar di tengah-tengah umatku, Allah akan menurunkan azab dari sisi-Nya.” lalu Ummu Salamah bertanya: Ya Rasulullah bukankah di tengah-tengah mereka terdapat orang-orang yang saleh? Jawab Rasulullah: “Ya”. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: “Bagaimana dengan mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka juga ditimpa apa yang menimpa manusia, di akhirat baru mereka mendapat keampunan dan keridhaan dari Allah.” (lihat Majma’ Zawaid: 7/268)
Manusia saat ditimpa suatu musibah atau cobaan terbagi kepada tiga bentuk dalam menghadapi dan menyikapi musibah atau cobaan tersebut:
Bentuk pertama: ada orang dengan datangnya sebuah musibah atau bencana membuatnya kembali kepada Allah, ia sabar dalam menerimanya dan ia bangun dari kealpaannya selama ini, maka hal itu baik baginya sehingga membuatnya bertaubat dan menyesali segala perbuatan dosa-dosanya yang berlalu. Inilah orang yang beruntung saat ditimpa musibah. Orang ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ . أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan Sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta dan (kehilangan) jiwa serta (kurangnya) buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (dalam menerimanya). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, Mereka mengucapkan: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan Mereka, dan mereka itulah orang-orang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)
Bentuk kedua: ada orang dengan datangnya bencana atau musibah, seketika itu dia tertunduk dan bertaubat kepada Allah, dia berdoa kepada Allah pada setiap saat. Tapi setelah musibah dan bencana itu berlalu ia kembali kepada kedurhakaan kepada Allah, ia kembali melakukan segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran yang biasa dilakukannya sebelum datangnya bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas memandang baik apa yang Mereka lakukan.” (QS. Yunus: 12)
Bentuk ketiga: ada orang yang ketika ditimpa bencana atau musibah justru semakin bertambah durhaka dan bertambah kufur kepada Allah, dia semakin berjadi-jadi melakukan maksiat dan kemungkaran tersebut. Bahkan dia memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan segala bentuk perbuatan keji dan hina. Apakah itu mencuri, merampok, berzina dan segala macam bentuk maksiat serta manipulasi bantuan yang disalurkan untuk membantu orang-orang yang sedang menderita akibat bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada Mereka, maka Mereka tetap tidak mau tunduk kepada Tuhan mereka dan juga mereka tidak mau merendahkan diri.” (QS. Al Mu’minuun: 76). Dalam Ayat lain Allah ungkapkan:
أَوَلاَ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لاَ يَتُوبُونَ وَلاَ هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Apakah Mereka tidak memperhatikan, bahwa Mereka itu diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian Mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak (pula) mereka mengambil pelajaran?.” (QS. At Taubah: 126)
Maka melalui apa yang kita paparkan di atas bahwa jalan keluar dari bencana dan musibah ini adalah dengan bertaubat kepada Allah dari mengerjakan segala bentuk dosa dan memohon ampunan dari Allah dari dosa-dosa tersebut. kemudian diiringi dengan mengerjakan segala perbuatan yang ma’ruf dan beramal saleh.
Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan membuka baginya pintu keluar (dari berbagai persoalan). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada dikira-kira.” (QS. Ath Thalaaq: 2-3)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan Mereka orang berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum Mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan Mereka, dari perasaan (diselimuti) ketakutan menjadi aman sentosa. (selama) Mereka tetap menyembah-Ku tanpa melakukan kesyirikan kepada-Ku sedikitpun. Dan barang siapa yang masih (tetap) kafir setelah perjanjian itu, maka Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Ketika kaum muslimin ditimpa musim paceklik di masa khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia membaca dalam doa yang dipanjatkannya kepada Allah:”Ya Allah sesungguhnya suatu musibah tidak akan turun kecuali dengan sebab dosa, dan tidak akan diangkat kecuali dengan bertaubat.”
Marilah setiap kita melihat pada diri masing-masing di mana letak diri kita dalam melaksanakan perintah dan larangan agama, bila hasilnya selalu terbalik, setiap perintah kita lalaikan dan setiap larangan kita lakukan maka hendaklah kita berputar haluan dari hal yang berlawanan tersebut kepada jalan yang lurus.
Bertaubat Butuh Kepada Beberapa Aspek Penghayatan
Pertama: Meninggalkan perbuatan dosa tersebut dengan spontan.
Kedua: Menyesali perbuatan tersebut dengan sepenuh hati.
Ketiga: Berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak akan kembali mengulangi perbuatan tersebut.
Keempat: Mengembalikan hak orang lain kepada si pemiliknya.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Sikap menentang dan menolak kebenaran atau kebiasaan menyuruh kepada yang mungkar dan mencegah dari berbuat ma’ruf adalah tingkah laku orang-orang munafik. Sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian mereka dari bagian yang lainnya, Mereka menyuruh kepada yang mungkar dan mencegah dari yang ma’ruf.” (QS. At Taubah: 67)
Hendaklah orang yang suka mempermainkan ayat-ayat tentang wajibnya berhijab merenungkan ayat di atas apakah anda termasuk yang menyuruh kepada yang makruf atau menyuruh kepada yang mungkar?
Sebagian manusia ada yang pintar dalam bersilat lidah ketika mereka diajak untuk mengikuti kebenaran dan berhenti dari melakukan kerusakan. Sehingga akibat dari tindakannya tersebut telah terjadi kerusakan dalam segala jaring kehidupan. Bahkan kerusakan yang ditimbulkannya tidak hanya terbatas pada manusia semata tapi menimpa tumbuh-tumbuhan dan hewan yang melata. Sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ{204} وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيِهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَادَ . وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, pada hal ia adalah penentang yang keras. Dan apabila dia berpaling (dari kamu) ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan di atasnya, ia merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan. Dan bila dikatakan (kepadanya): Takutlah kamu kepada Allah”, bangkit kesombongannya yang menyebabkannya (semakin) berbuat dosa, maka cukuplah neraka jahanam baginya, dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Al Baqarah: 204-206)
Orang yang suka menyebarkan pemikiran keji serta menginginkan tersebarnya kekejian tersebut di kalangan orang-orang yang beriman Allah telah menyediakan balasan yang setimpal untuk Mereka di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka untuk tersiarnya kekejian di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nuur: 19)
Masihkah belum cukup ancaman di atas bagi orang yang suka membikin cerita-cerita porno, memperjualbelikan CD porno, menayangkan film-film porno?
Betapa banyak orang yang telah menikmati kemaksiatan yang anda sebar, sebanyak itu pula dosa yang harus anda pikul.
Allah berfirman:
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالاً مَّعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُون
“Dan Sesungguh Mereka akan memikul dosa-dosa Mereka dan dosa-dosa orang (yang Mereka sesatkan dan Mereka akan ditanya terhadap apa yang Mereka dustakan.” (QS. Al Ankabuut: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan dalam sabdanya: “Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan dia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dari dosa-dosa Mereka sedikitpun.” (HR. Imam Muslim no: 2674)
Bencana Adalah Buah Dosa Perbuatan Manusia
Allah telah berulang kali memberikan teguran kepada bangsa kita, tapi sedikit di antara kita yang mampu menimba kesadaran dari itu semua. Yang masih segar dalam pandangan dan ingatan kita gempa dan tsunami yang memorak-porandakan beberapa negara, tentu yang sangat terkesan sekali di hati kita apa yang berada di samping kita yaitu Aceh dan gempa Nias, tapi apakah hal itu membuat kita semakin tunduk kepada kebesaran Allah? Atau sebaliknya?!
Bumi yang kita pijak, udara yang kita hirup, air yang kita minum setiap detik kita pergunakan dalam rangka melakukan maksiat kepada Allah. Lupakah kita dengan firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memberitahukan: Jika kamu bersyukur, sungguh Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan tetapi jika kamu mengkufuri (nikmat tersebut) sesungguhnya azabKu amat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Dan firman-Nya lagi:
مَّا يَفْعَلُ اللّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ
“Allah tidak akan mengazabmu jika kamu bersyukur dan beriman.” (QS. An Nisaa’: 147)
Segala fasilitas yang diberikan Allah, kita manfaatkan untuk durhaka pada-Nya mulai dari mata, telinga dan lidah kita pergunakan untuk hal yang haram, untuk film-film, nyanyi-nyanyian dan berkata bohong. Makan dan minum serta pakaian kita bersumber dari usaha yang haram, mungkin dari hasil rampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, sogok, atau hasil tipuan, lacuran, judi, penjualan CD porno dan seterusnya. Itulah diri kita, apakah kita tidak pantas untuk diazab? Di mana Allah akan mengabulkan do’a kita sementara keadaan kita selalu bergelimang dengan segala hal yang haram? Perhatikanlah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang yang menemui kelelahan dalam perjalanan yang panjang, dalam kondisi seluruh tubuhnya di penuhi debu, lalu dia mengangkat kedua telapak tangannya ke langit sambil berdoa: Ya Tuhanku, Ya Tuhanku. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bagaimana Allah akan mengabulkan doanya, sedangkan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dia dibesarkan dari yang haram?” (HR. Imam Muslim no. 1015)
Dari hadits di atas jelas sekali bagaimana akibat dari menikmati sesuatu yang haram, sekalipun dia dalam kondisi yang sangat membantu supaya dikabulkan doanya. Karena dalam sebuah hadits lain disebutkan bahwa do’a musafir itu terkabul sekali, tapi ada hal yang menghalanginya yaitu memakan harta yang haram. Kisah di atas bisa untuk memperbandingkan dan menilai kondisi kita.
Tapi Allah masih memberikan waktu kepada kita untuk bertaubat, untuk kembali kepadanya, apakah kita akan menunda-nunda taubat itu, sampai azab Allah yang lebih besar lagi datang kepada kita? Mari kita simak firman Allah berikut:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Jikalau Allah menyiksa manusia (sesuai) dengan kezaliman Mereka, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) Mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), Mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An Nahl: 61)
Dalam ayat yang lain berbunyi:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيراً
“Dan jikalau Allah menyiksa manusia dengan segala apa yang Mereka usahakan, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) Mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Faathir: 45)
Simak lagi kalam Ilahi:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ . أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ . أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ . أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Dan jika sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada Mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi Mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) maka Kami menyiksa Mereka dengan apa yang Mereka usahakan. Maka apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di malam hari di waktu Mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada waktu dhuha ketika Mereka sedang bermain-main? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari ancaman azab Allah (yang tanpa diduga-duga)? Tidaklah yang merasa aman dari ancaman azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raaf: 96-99)
Itulah janji dan ancaman Allah bagi umat manusia yang tidak mau beriman dan bertakwa, Allah nyatakan pula dalam ayat di atas bahwa kesejahteraan dan kemakmuran hanya dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya. Allah tidak akan mengazab penduduk suatu negeri kecuali Mereka itu telah melampaui batas dalam kezaliman Mereka, baik terhadap diri Mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Allah katakan dalam ayat yang lain:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan berbagai negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Huud: 117)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan Kami tidak pernah menghancurkan berbagai negeri kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al Qashash: 59)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dalam sabdanya: “Tidaklah seorang hamba ditimpa sebuah bencana baik besar maupun kecil kecuali dengan sebab dosa, dan apa yang dimaafkan Allah jauh lebih banyak.” (HR. At Tirmizi no: 3252) kemudian beliau membaca firman Allah:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kamu, maka adalah dengan sebab usaha tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu.” (Q.S. Asy Syura: 30)
Yang lebih konyol adalah bila seseorang berpikir bahwa dia mampu lari dari azab Allah, seperti yang beberapa kali terjadi di Kota Padang ketika adanya isu tsunami atau datang gempa Mereka berhamburan keluar rumah dan berusaha untuk mencari tempat yang tinggi seperti lari ke arah Indarung atau ke arah Limau Manis. Sekalipun menyelamatkan diri tidak dilarang dalam Islam. Tapi kalau Allah sudah menentukan sesuatu, kemanapun kita akan lari sebagai makhluk yang lemah lagi hina, cukup dengan tersandung kerikil saja kita bisa mati di tempat. Bukankah seluruh apa yang ada di muka bumi di bawah kekuasaan Allah semata. Kalau Allah berkehendak segala sesuatu bisa membinasakan manusia, seperti angin taufan, air bah, banjir, gempa, ledakan gunung api dan segala macamnya. Sebagaimana kaum Fir’aun diazab dengan taufan, belalang, kutu dan katak. Yang amat perlu untuk dipersiapkan bukanlah kendaraan untuk lari tapi keimanan dan amal saleh serta bertaubat kepada Allah. Jangan kita berprasangka bila umur kita panjang, harta kita banyak, berarti Allah menyayangi kita, sementara kita bergelimang dosa setiap saat. Allah sebutkan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُواْ بِمَا أُوتُواْ أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka tatkala Mereka melupakan peringatan yang diberikan kepada Mereka, Kami bukakan untuk Mereka semua pintu kesenangan, sehingga saat Mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada Mereka, Kami siksa Mereka dengan secara tiba-tiba, maka ketika itu Mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’aam: 44)
Betapa banyaknya orang kafir yang berumur panjang dan memiliki harta yang berlimpah ruah tapi itu adalah tipuan untuk Mereka. Sebenarnya Allah sangat benci kepada Mereka oleh sebab itu Allah memanjangkan umur Mereka dalam kekafiran, sehingga semakin panjang pula azab yang harus Mereka terima. Dan semakin banyak pula nikmat yang harus Mereka pertanggung jawabkan, maka berlipat gandalah azab yang harus Mereka terima. Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُواْ إِثْماً وَلَهْمُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa Kami menangguhkan (azab) atas Mereka adalah kebaikan untuk mereka, sesungguhnya kami menangguhkan (azab) atas mereka hanyalah supaya dosa Mereka semakin bertambah; dan bagi Mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imran: 178)
Bila Allah menurunkan sebuah azab atas sekelompok umat, Allah tidak akan pilih yang berbuat dosa saja tapi azab tersebut akan menimpa seluruhnya sekalipun orang-orang saleh. Sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila maksiat telah tersebar di tengah-tengah umatku, Allah akan menurunkan azab dari sisi-Nya.” lalu Ummu Salamah bertanya: Ya Rasulullah bukankah di tengah-tengah mereka terdapat orang-orang yang saleh? Jawab Rasulullah: “Ya”. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: “Bagaimana dengan mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka juga ditimpa apa yang menimpa manusia, di akhirat baru mereka mendapat keampunan dan keridhaan dari Allah.” (lihat Majma’ Zawaid: 7/268)
Manusia saat ditimpa suatu musibah atau cobaan terbagi kepada tiga bentuk dalam menghadapi dan menyikapi musibah atau cobaan tersebut:
Bentuk pertama: ada orang dengan datangnya sebuah musibah atau bencana membuatnya kembali kepada Allah, ia sabar dalam menerimanya dan ia bangun dari kealpaannya selama ini, maka hal itu baik baginya sehingga membuatnya bertaubat dan menyesali segala perbuatan dosa-dosanya yang berlalu. Inilah orang yang beruntung saat ditimpa musibah. Orang ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ . أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan Sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta dan (kehilangan) jiwa serta (kurangnya) buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (dalam menerimanya). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, Mereka mengucapkan: Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan Mereka, dan mereka itulah orang-orang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)
Bentuk kedua: ada orang dengan datangnya bencana atau musibah, seketika itu dia tertunduk dan bertaubat kepada Allah, dia berdoa kepada Allah pada setiap saat. Tapi setelah musibah dan bencana itu berlalu ia kembali kepada kedurhakaan kepada Allah, ia kembali melakukan segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran yang biasa dilakukannya sebelum datangnya bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas memandang baik apa yang Mereka lakukan.” (QS. Yunus: 12)
Bentuk ketiga: ada orang yang ketika ditimpa bencana atau musibah justru semakin bertambah durhaka dan bertambah kufur kepada Allah, dia semakin berjadi-jadi melakukan maksiat dan kemungkaran tersebut. Bahkan dia memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan segala bentuk perbuatan keji dan hina. Apakah itu mencuri, merampok, berzina dan segala macam bentuk maksiat serta manipulasi bantuan yang disalurkan untuk membantu orang-orang yang sedang menderita akibat bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada Mereka, maka Mereka tetap tidak mau tunduk kepada Tuhan mereka dan juga mereka tidak mau merendahkan diri.” (QS. Al Mu’minuun: 76). Dalam Ayat lain Allah ungkapkan:
أَوَلاَ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لاَ يَتُوبُونَ وَلاَ هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Apakah Mereka tidak memperhatikan, bahwa Mereka itu diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian Mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak (pula) mereka mengambil pelajaran?.” (QS. At Taubah: 126)
Maka melalui apa yang kita paparkan di atas bahwa jalan keluar dari bencana dan musibah ini adalah dengan bertaubat kepada Allah dari mengerjakan segala bentuk dosa dan memohon ampunan dari Allah dari dosa-dosa tersebut. kemudian diiringi dengan mengerjakan segala perbuatan yang ma’ruf dan beramal saleh.
Allah sebutkan dalam firman-Nya:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan membuka baginya pintu keluar (dari berbagai persoalan). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada dikira-kira.” (QS. Ath Thalaaq: 2-3)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan Mereka orang berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum Mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan Mereka, dari perasaan (diselimuti) ketakutan menjadi aman sentosa. (selama) Mereka tetap menyembah-Ku tanpa melakukan kesyirikan kepada-Ku sedikitpun. Dan barang siapa yang masih (tetap) kafir setelah perjanjian itu, maka Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Ketika kaum muslimin ditimpa musim paceklik di masa khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia membaca dalam doa yang dipanjatkannya kepada Allah:”Ya Allah sesungguhnya suatu musibah tidak akan turun kecuali dengan sebab dosa, dan tidak akan diangkat kecuali dengan bertaubat.”
Marilah setiap kita melihat pada diri masing-masing di mana letak diri kita dalam melaksanakan perintah dan larangan agama, bila hasilnya selalu terbalik, setiap perintah kita lalaikan dan setiap larangan kita lakukan maka hendaklah kita berputar haluan dari hal yang berlawanan tersebut kepada jalan yang lurus.
Bertaubat Butuh Kepada Beberapa Aspek Penghayatan
Pertama: Meninggalkan perbuatan dosa tersebut dengan spontan.
Kedua: Menyesali perbuatan tersebut dengan sepenuh hati.
Ketiga: Berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak akan kembali mengulangi perbuatan tersebut.
Keempat: Mengembalikan hak orang lain kepada si pemiliknya.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Nasehat dari Bumi Perantauan kepada Sanak saudaraku di Kampung Halaman bagian 1
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.
Bermacam cobaan dan bencana telah menimpa negeri tercinta ini namun kesadaran masih juga belum kunjung datang pada diri kita masing-masing. Kita masih saling menyalahkan, bahkan kita mengira bahwa semua bencana tersebut disebabkan oleh dosa orang lain. Adapun diri kita sendiri tidak pernah bersalah dan tidak pernah berdosa. Diawali dari kesemberawutan ekonomi dan politik, datang banjir yang menenggelamkan berbagai kota besar di nusantara, lalu musim kemarau panjang dan kebakaran hutan serta kabut yang menyelimuti berbagai daerah, disertai kekurangan pangan dan kelaparan di mana-mana, gempa dan tsunami yang telah memporak-porandakan Aceh dan beberapa negara lainnya disusul oleh gempa Nias yang memakan korban cukup banyak pula. Masihkah belum cukup untuk kita berpikir dan mengambil ‘ibroh dari segala kejadian tersebut? Kita mengeluh kemiskinan melanda negeri kita tapi parabola menjamur di atas gubuk-gubuk yang hampir reok! Kita mengeluh atas tersebarnya berbagai maksiat di tengah-tengah masyarakat, tapi berbagai media informasi dua puluh empat jam menampilkan acara yang berbau porno dan sex (yang diperhalus dengan istilah pornoaksi dan pornografi), yang kesemuanya disantap oleh anak-anak yang baru bisa merangkak sampai kakek-kakek yang sudah pikun. Berbagai berita maksiat tersebar; ada kakek yang memerkosa anak di bawah umur, ada guru SD yang melacur, banyak siswi SMK yang hamil, ada… ada… ada… dan seterusnya.
Kerusakan tidak hanya sampai di situ bahkan sampai kepada titik memperolok-olokkan agama, menghujat Allah, memutarbalikkan pengertian ayat-ayat al-Qur’an, membikin model ibadah-ibadah baru dan seterusnya. Yang seharusnya pelakunya mendapat hukuman justru sebaliknya mendapat sanjungan sebagai intelektual dan segudang sanjungan lainnya.
Sangat nyata apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah muncul kerusakan di darat dan di laut dengan sebab ulah perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian (dari) akibat perbuatan mereka, agar Mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41)
Itu hanya sekelumit persoalan yang sedang menimpa negara kita. Tapi pernahkah kita bertanya dan memikirkan kenapa semua ini terjadi? Bagaimana caranya kita selamat dari bencana ini? Yaitu bencana kehidupan dan keimanan.
Bila dua pertanyaan ini bisa terjawab dengan benar dan baik, maka penyelesaian dan kesembuhan akan bisa diharapkan. Karena dengan mengetahui sebab-sebab penyakit dari situ akan bisa merencanakan terapi yang jitu. Mengetahui sebab-sebab kehancuran supaya dihindari. Kemudian berusaha mencari jalan keluar dari kehancuran ini agar bisa membangun kembali puing-puing yang sudah roboh tanpa mengesampingkan pengalaman pahit yang berlalu untuk dijadikan sebagai pelajaran dan bahan pertimbangan dalam membangun kehidupan yang baru.
Oleh sebab itu Allah berulang kali menceritakan tentang kaum-kaum yang dihancurkan dalam kitab-Nya yang mulia, supaya umat manusia mengambil ‘ibroh dan pelajaran dari kisah mereka, mengapa mereka ditimpa azab dan bencana? Apakah karena mereka miskin? Atau karena tidak punya angkatan perang yang cukup? Atau karena sistem politik dan ekonomi Mereka yang lemah? Atau karena hal lain yaitu karena kufur kepada Allah, tidak mau bersyukur kepada Allah, serta menolak kebenaran yang diturunkan Allah??
Dalam tulisan singkat ini kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sesuai dengan apa yang dituangkan dalam Al Quran dan Sunnah. Karena keselamatan dan kebahagiaan hanya bisa digapai dengan mengamalkan keduanya, selama penyelesaian tidak berpedoman kepada wahyu Ilahi selama itu pula penyelesaian yang menjadi impian tidak akan datang.
Tulisan ini sebagaiimbauan nasihat dari perantauan ilmu yaitu kota Nabi (kota Madinah) kepada sanak saudaraku di kampung halaman (Ranah Minang khususnya dan Tanah air pada umumnya -ed).
Imbauan Nasihat ini di latar belakangi oleh beberapa hal:
1. Musibah yang tidak putus-putusnya menimpa negara kita tercinta, mulai dari sengketa politik, krisis ekonomi sampai pada musibah tsunami dan gempa Nias.
2. Maraknya berbagai maksiat di tengah-tengah masyarakat khususnya di Ranah Minang, mulai maraknya pembunuhan yang lebih menyayat hati seorang anak tega menyembelih ibu kandungnya sendiri, maraknya perzinaan dan perjudian bukan hanya di kalangan masyarakat umum tapi justru sudah merambah ke lembaga pendidikan.
3. Mendangkalnya rasa keagamaan, mulai dari gerakan permurtadan, maraknya perbuatan syirik, kebiasaan meninggalkan shalat dan melakukan praktek-praktek ibadah yang tidak ada dalam Islam.
4. Dan banyak lagi hal-hal lain yang tidak bisa diungkapkan satu persatu dalam pesan ringkas ini.
Imbauan ini sudah lama terbetik dalam hati kami, tapi selalu ragu untuk menulisnya dengan pertimbangan dan alasan ini dan itu; seperti masalah keikhlasan dalam menyampaikan nasihat, masalah masih banyaknya orang yang jauh lebih berilmu di Ranah Minang ini yang lebih berhak untuk berbicara, keberadaan penulis yang jauh dari kampung yang bila bicara akan dianggap tidak mengetahui persoalan kampung. Dan banyak lagi yang selalu menjanggal untuk dimulainya penulisan nasihat ini.
Tapi pada tanggal 7 April 2005 perasaan sedih bercampur haru semakin mengganggu sehingga membuat tidurpun tidak enak apalagi setelah membuka padang ekspres lewat internet, sebuah berita mengejutkan sekaligus mengherankan tentang pelaksanaan shalat Dhuha berjamaah di lapangan Taman Budaya Padang dengan bacaan dikeraskan, disertai iqamah segala. Dengan seketika kami terkesima; “Wah ini memang sudah kebablasan dan tidak tau lagi siapa yang harus diikut dalam beragama, ke mana ulama Ranah Minang yang dulu katanya sebagai gudang ulama?”
Karena takut akan diancam azab Allah, kami mencoba mengikhlaskan niat dan memberanikan diri untuk menulis nasihat ini, sekalipun tidak ada yang mau menerima tapi kewajiban sebagai seorang muslim kami harus menunaikan amanah yang berat ini. Serta mensyukuri rahmat Allah kepada kami yang telah memberi nikmat untuk menimba ilmu dari ulama di kota Nabi tepatnya di Universitas Islam Madinah yang sekarang dalam menyelesaikan S3 di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin -Jurusan Aqidah.
Semoga Allah menjadikannya sebagai nasihat yang ikhlas, dan menjadikannya bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Kewajiban untuk Saling Menasihati
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang mewajibkan kita untuk saling menasihati sesama muslim, saat kewajiban ini telah diabaikan maka saat itulah bencana dan kehancuran akan datang, karena sudah tidak ditegakkannya kewajiban ini kebinasaan telah melanda dalam segala aspek kehidupan kita. Saya masih ingat waktu saya kecil bagaimana adanya saling nasihat antara sesama muslim, bila saya ditemui seseorang di tengah jalan atau masih main-main pada jam enam sore, ia dengan spontan menegur: “Oii wa ang ndak ka surau”, saya tidak kenal siapa dia, tapi begitulah kehidupan pada masa itu, semua orang merasakan bahwa anak saudaranya adalah anaknya sendiri yang harus dibimbing dan dinasihati. Begitu pula bila melihat seorang berjalan bergandengan dengan lawan jenis akan disapa dan di tegur bahkan merupakan aib yang amat besar bila dilihat orang kampung berjalan dengan lawan jenis (bukan suami istri). Bahkan orang tua atau mamaknya akan memberikan ganjaran tertentu, seperti ancaman; bila diulangi kalau dia perempuan akan di gundul kepalanya. Begitulah penerapan nasihat dulu di Ranah Minang, tetapi sekarang bila anaknya tidak bisa membawa pacar pulang ke rumah, orang tuanya akan merasa gengsi dengan tetangga. Bila anaknya ditegur dari tindakan yang merusak moral dengan spontan ia akan membanggakan diri dan merasa dihina. Sehingga bila kita menasihati berarti kita telah menghina dan melanggar hak kebebasannya. Sedangkan agama hanya memberi kebebasan dalam melakukan perbuatan yang baik, adapun dalam berbuat kerusakan Islam tidak memberikan kebebasan kepada siapapun, itulah arti kebebasan dalam Islam, bukan sebagaimana yang diinginkan oleh orang-orang kafir yaitu kebebasan hutan belantara.
Berikut kita sebutkan beberapa ayat dan hadits yang mewajibkan untuk saling menasihati dalam menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran;
Firman Allah:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104)
Keberuntungan yang disebutkan pada akhir ayat di atas adalah bersifat umum mencakup keberuntungan di dunia dan keberuntungan di akhirat.
Sebagaimana perintah Lukman kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (Mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Dalam ayat di atas ada satu hal yang amat penting untuk di ketahui yaitu rahasia mengapa perintah untuk bersikap sabar setelah perintah untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar? Karena perintah menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar itu tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kesabaran, baik dalam menyampaikan kebenaran itu sendiri maupun dalam menerima cobaan dan tantangan dari pelaku kemungkaran. maka oleh sebab itu tidak ada seorang rasulpun yang diutus kecuali mendapat perlawanan dari kaumnya, baik berbentuk perlawanan fisik maupun mental.
Kemudian menyampaikan nasihat sesama muslim adalah ciri-ciri manusia yang beruntung dalam kehidupannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al ‘Ashr:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasihat- menasihati dengan kebenaran dan saling nasihat-menasihati dengan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)
Dalam ayat yang mulia di atas ditegaskan bahwa manusia itu merugi dalam sepanjang masa kecuali orang yang mengisi masanya dengan empat hal; yaitu beriman, beramal saleh, memberi nasihat dengan kebenaran dan memberi nasihat dengan kesabaran.
Begitu pula disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Agama itu adalah nasihat, (Beliau mengulanginya ucapan tersebut sampai tiga kali), Para sahabat bertanya: untuk siapa (ya Rasulullah)? Beliau menjawab: Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Imam Muslim no. 55)
Kandungan hadits ini menerangkan tentang wajibnya menyampaikan nasihat dalam agama untuk pemimpin dan masyarakat umum, yaitu dalam hal wajibnya membina kehidupan bermasyarakat untuk taat kepada Allah serta menjunjung tinggi perintah dan hukum-hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasihat untuk Allah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah nasihat untuk menaati perintah Allah dalam segala aspek kehidupan bernegara, baik politik, ekonomi maupun pendidikan, maka pendidikan hendaknya harus mengacu dan memacu untuk mendidik para peserta didik untuk tunduk dan taat kepada Allah, bukan sebaliknya.
Nasihat untuk kitab Allah adalah nasihat untuk menjadikan kitab tersebut sebagai landasan dan pola dalam segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik yang berhubungan dengan hukum ataupun peraturan dan undang-undang.
Nasihat untuk Rasul-Nya adalah menjadikan ajarannya sebagai acuan dalam menunaikan hak dan kewajiban bermasyarakat dan bernegara, baik yang berbentuk hubungan Vertikal antara rakyat dengan penguasa, maupun hubungan Horizontal antar sesama rakyat termasuk hubungan antar umat beragama dalam satu negara, serta menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagai Uswah dalam kepemimpinan.
Adapun nasihat untuk pemimpin adalah supaya Mereka berbuat adil dan menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum, melakukan tugas yang diamanahkan Allah kepada Mereka dengan penuh tanggung jawab dan pengorbanan demi kesejahteraan rakyat banyak, bukan sebaliknya untuk kesejahteraan pribadi. Bila Mereka melakukan tugas tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Mereka akan dibalasi dengan balasan yang sangat istimewa pada hari kiamat. Seperti yang disebutkan Rasulullah dalam sabda beliau: Bahwasanya Mereka termasuk salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan Allah, di hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah. (HR. Imam Bukhari no. 628 dan Imam Muslim no. 1031)
Dan Mereka akan ditinggikan di atas podium yang terbuat dari cahaya yang terletak di sebelah kanan Allah. (HR. Imam Muslim no. 1827)
Adapun nasihat untuk kaum muslimin secara umum adalah hendaklah Mereka selalu berbuat ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat. Terutama sekali meninggalkan perbuatan syirik, seperti meminta kepada kuburan, bebatuan, pepohonan dan sebagainya. Serta menciptakan hubungan yang harmonis dengan penguasa. Menaati Mereka dalam segala hal yang ma’ruf untuk mencapai kehidupan yang diridhai oleh Allah ta’ala.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Bermacam cobaan dan bencana telah menimpa negeri tercinta ini namun kesadaran masih juga belum kunjung datang pada diri kita masing-masing. Kita masih saling menyalahkan, bahkan kita mengira bahwa semua bencana tersebut disebabkan oleh dosa orang lain. Adapun diri kita sendiri tidak pernah bersalah dan tidak pernah berdosa. Diawali dari kesemberawutan ekonomi dan politik, datang banjir yang menenggelamkan berbagai kota besar di nusantara, lalu musim kemarau panjang dan kebakaran hutan serta kabut yang menyelimuti berbagai daerah, disertai kekurangan pangan dan kelaparan di mana-mana, gempa dan tsunami yang telah memporak-porandakan Aceh dan beberapa negara lainnya disusul oleh gempa Nias yang memakan korban cukup banyak pula. Masihkah belum cukup untuk kita berpikir dan mengambil ‘ibroh dari segala kejadian tersebut? Kita mengeluh kemiskinan melanda negeri kita tapi parabola menjamur di atas gubuk-gubuk yang hampir reok! Kita mengeluh atas tersebarnya berbagai maksiat di tengah-tengah masyarakat, tapi berbagai media informasi dua puluh empat jam menampilkan acara yang berbau porno dan sex (yang diperhalus dengan istilah pornoaksi dan pornografi), yang kesemuanya disantap oleh anak-anak yang baru bisa merangkak sampai kakek-kakek yang sudah pikun. Berbagai berita maksiat tersebar; ada kakek yang memerkosa anak di bawah umur, ada guru SD yang melacur, banyak siswi SMK yang hamil, ada… ada… ada… dan seterusnya.
Kerusakan tidak hanya sampai di situ bahkan sampai kepada titik memperolok-olokkan agama, menghujat Allah, memutarbalikkan pengertian ayat-ayat al-Qur’an, membikin model ibadah-ibadah baru dan seterusnya. Yang seharusnya pelakunya mendapat hukuman justru sebaliknya mendapat sanjungan sebagai intelektual dan segudang sanjungan lainnya.
Sangat nyata apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah muncul kerusakan di darat dan di laut dengan sebab ulah perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagaian (dari) akibat perbuatan mereka, agar Mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Ruum: 41)
Itu hanya sekelumit persoalan yang sedang menimpa negara kita. Tapi pernahkah kita bertanya dan memikirkan kenapa semua ini terjadi? Bagaimana caranya kita selamat dari bencana ini? Yaitu bencana kehidupan dan keimanan.
Bila dua pertanyaan ini bisa terjawab dengan benar dan baik, maka penyelesaian dan kesembuhan akan bisa diharapkan. Karena dengan mengetahui sebab-sebab penyakit dari situ akan bisa merencanakan terapi yang jitu. Mengetahui sebab-sebab kehancuran supaya dihindari. Kemudian berusaha mencari jalan keluar dari kehancuran ini agar bisa membangun kembali puing-puing yang sudah roboh tanpa mengesampingkan pengalaman pahit yang berlalu untuk dijadikan sebagai pelajaran dan bahan pertimbangan dalam membangun kehidupan yang baru.
Oleh sebab itu Allah berulang kali menceritakan tentang kaum-kaum yang dihancurkan dalam kitab-Nya yang mulia, supaya umat manusia mengambil ‘ibroh dan pelajaran dari kisah mereka, mengapa mereka ditimpa azab dan bencana? Apakah karena mereka miskin? Atau karena tidak punya angkatan perang yang cukup? Atau karena sistem politik dan ekonomi Mereka yang lemah? Atau karena hal lain yaitu karena kufur kepada Allah, tidak mau bersyukur kepada Allah, serta menolak kebenaran yang diturunkan Allah??
Dalam tulisan singkat ini kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas sesuai dengan apa yang dituangkan dalam Al Quran dan Sunnah. Karena keselamatan dan kebahagiaan hanya bisa digapai dengan mengamalkan keduanya, selama penyelesaian tidak berpedoman kepada wahyu Ilahi selama itu pula penyelesaian yang menjadi impian tidak akan datang.
Tulisan ini sebagaiimbauan nasihat dari perantauan ilmu yaitu kota Nabi (kota Madinah) kepada sanak saudaraku di kampung halaman (Ranah Minang khususnya dan Tanah air pada umumnya -ed).
Imbauan Nasihat ini di latar belakangi oleh beberapa hal:
1. Musibah yang tidak putus-putusnya menimpa negara kita tercinta, mulai dari sengketa politik, krisis ekonomi sampai pada musibah tsunami dan gempa Nias.
2. Maraknya berbagai maksiat di tengah-tengah masyarakat khususnya di Ranah Minang, mulai maraknya pembunuhan yang lebih menyayat hati seorang anak tega menyembelih ibu kandungnya sendiri, maraknya perzinaan dan perjudian bukan hanya di kalangan masyarakat umum tapi justru sudah merambah ke lembaga pendidikan.
3. Mendangkalnya rasa keagamaan, mulai dari gerakan permurtadan, maraknya perbuatan syirik, kebiasaan meninggalkan shalat dan melakukan praktek-praktek ibadah yang tidak ada dalam Islam.
4. Dan banyak lagi hal-hal lain yang tidak bisa diungkapkan satu persatu dalam pesan ringkas ini.
Imbauan ini sudah lama terbetik dalam hati kami, tapi selalu ragu untuk menulisnya dengan pertimbangan dan alasan ini dan itu; seperti masalah keikhlasan dalam menyampaikan nasihat, masalah masih banyaknya orang yang jauh lebih berilmu di Ranah Minang ini yang lebih berhak untuk berbicara, keberadaan penulis yang jauh dari kampung yang bila bicara akan dianggap tidak mengetahui persoalan kampung. Dan banyak lagi yang selalu menjanggal untuk dimulainya penulisan nasihat ini.
Tapi pada tanggal 7 April 2005 perasaan sedih bercampur haru semakin mengganggu sehingga membuat tidurpun tidak enak apalagi setelah membuka padang ekspres lewat internet, sebuah berita mengejutkan sekaligus mengherankan tentang pelaksanaan shalat Dhuha berjamaah di lapangan Taman Budaya Padang dengan bacaan dikeraskan, disertai iqamah segala. Dengan seketika kami terkesima; “Wah ini memang sudah kebablasan dan tidak tau lagi siapa yang harus diikut dalam beragama, ke mana ulama Ranah Minang yang dulu katanya sebagai gudang ulama?”
Karena takut akan diancam azab Allah, kami mencoba mengikhlaskan niat dan memberanikan diri untuk menulis nasihat ini, sekalipun tidak ada yang mau menerima tapi kewajiban sebagai seorang muslim kami harus menunaikan amanah yang berat ini. Serta mensyukuri rahmat Allah kepada kami yang telah memberi nikmat untuk menimba ilmu dari ulama di kota Nabi tepatnya di Universitas Islam Madinah yang sekarang dalam menyelesaikan S3 di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin -Jurusan Aqidah.
Semoga Allah menjadikannya sebagai nasihat yang ikhlas, dan menjadikannya bermanfaat bagi penulis dan pembacanya. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Kewajiban untuk Saling Menasihati
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang mewajibkan kita untuk saling menasihati sesama muslim, saat kewajiban ini telah diabaikan maka saat itulah bencana dan kehancuran akan datang, karena sudah tidak ditegakkannya kewajiban ini kebinasaan telah melanda dalam segala aspek kehidupan kita. Saya masih ingat waktu saya kecil bagaimana adanya saling nasihat antara sesama muslim, bila saya ditemui seseorang di tengah jalan atau masih main-main pada jam enam sore, ia dengan spontan menegur: “Oii wa ang ndak ka surau”, saya tidak kenal siapa dia, tapi begitulah kehidupan pada masa itu, semua orang merasakan bahwa anak saudaranya adalah anaknya sendiri yang harus dibimbing dan dinasihati. Begitu pula bila melihat seorang berjalan bergandengan dengan lawan jenis akan disapa dan di tegur bahkan merupakan aib yang amat besar bila dilihat orang kampung berjalan dengan lawan jenis (bukan suami istri). Bahkan orang tua atau mamaknya akan memberikan ganjaran tertentu, seperti ancaman; bila diulangi kalau dia perempuan akan di gundul kepalanya. Begitulah penerapan nasihat dulu di Ranah Minang, tetapi sekarang bila anaknya tidak bisa membawa pacar pulang ke rumah, orang tuanya akan merasa gengsi dengan tetangga. Bila anaknya ditegur dari tindakan yang merusak moral dengan spontan ia akan membanggakan diri dan merasa dihina. Sehingga bila kita menasihati berarti kita telah menghina dan melanggar hak kebebasannya. Sedangkan agama hanya memberi kebebasan dalam melakukan perbuatan yang baik, adapun dalam berbuat kerusakan Islam tidak memberikan kebebasan kepada siapapun, itulah arti kebebasan dalam Islam, bukan sebagaimana yang diinginkan oleh orang-orang kafir yaitu kebebasan hutan belantara.
Berikut kita sebutkan beberapa ayat dan hadits yang mewajibkan untuk saling menasihati dalam menyampaikan kebenaran dan mencegah kemungkaran;
Firman Allah:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran: 104)
Keberuntungan yang disebutkan pada akhir ayat di atas adalah bersifat umum mencakup keberuntungan di dunia dan keberuntungan di akhirat.
Sebagaimana perintah Lukman kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (Mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Dalam ayat di atas ada satu hal yang amat penting untuk di ketahui yaitu rahasia mengapa perintah untuk bersikap sabar setelah perintah untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar? Karena perintah menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar itu tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kesabaran, baik dalam menyampaikan kebenaran itu sendiri maupun dalam menerima cobaan dan tantangan dari pelaku kemungkaran. maka oleh sebab itu tidak ada seorang rasulpun yang diutus kecuali mendapat perlawanan dari kaumnya, baik berbentuk perlawanan fisik maupun mental.
Kemudian menyampaikan nasihat sesama muslim adalah ciri-ciri manusia yang beruntung dalam kehidupannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al ‘Ashr:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasihat- menasihati dengan kebenaran dan saling nasihat-menasihati dengan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)
Dalam ayat yang mulia di atas ditegaskan bahwa manusia itu merugi dalam sepanjang masa kecuali orang yang mengisi masanya dengan empat hal; yaitu beriman, beramal saleh, memberi nasihat dengan kebenaran dan memberi nasihat dengan kesabaran.
Begitu pula disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Agama itu adalah nasihat, (Beliau mengulanginya ucapan tersebut sampai tiga kali), Para sahabat bertanya: untuk siapa (ya Rasulullah)? Beliau menjawab: Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Imam Muslim no. 55)
Kandungan hadits ini menerangkan tentang wajibnya menyampaikan nasihat dalam agama untuk pemimpin dan masyarakat umum, yaitu dalam hal wajibnya membina kehidupan bermasyarakat untuk taat kepada Allah serta menjunjung tinggi perintah dan hukum-hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasihat untuk Allah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah nasihat untuk menaati perintah Allah dalam segala aspek kehidupan bernegara, baik politik, ekonomi maupun pendidikan, maka pendidikan hendaknya harus mengacu dan memacu untuk mendidik para peserta didik untuk tunduk dan taat kepada Allah, bukan sebaliknya.
Nasihat untuk kitab Allah adalah nasihat untuk menjadikan kitab tersebut sebagai landasan dan pola dalam segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik yang berhubungan dengan hukum ataupun peraturan dan undang-undang.
Nasihat untuk Rasul-Nya adalah menjadikan ajarannya sebagai acuan dalam menunaikan hak dan kewajiban bermasyarakat dan bernegara, baik yang berbentuk hubungan Vertikal antara rakyat dengan penguasa, maupun hubungan Horizontal antar sesama rakyat termasuk hubungan antar umat beragama dalam satu negara, serta menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagai Uswah dalam kepemimpinan.
Adapun nasihat untuk pemimpin adalah supaya Mereka berbuat adil dan menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum, melakukan tugas yang diamanahkan Allah kepada Mereka dengan penuh tanggung jawab dan pengorbanan demi kesejahteraan rakyat banyak, bukan sebaliknya untuk kesejahteraan pribadi. Bila Mereka melakukan tugas tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Mereka akan dibalasi dengan balasan yang sangat istimewa pada hari kiamat. Seperti yang disebutkan Rasulullah dalam sabda beliau: Bahwasanya Mereka termasuk salah satu dari tujuh golongan yang mendapat naungan Allah, di hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah. (HR. Imam Bukhari no. 628 dan Imam Muslim no. 1031)
Dan Mereka akan ditinggikan di atas podium yang terbuat dari cahaya yang terletak di sebelah kanan Allah. (HR. Imam Muslim no. 1827)
Adapun nasihat untuk kaum muslimin secara umum adalah hendaklah Mereka selalu berbuat ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat. Terutama sekali meninggalkan perbuatan syirik, seperti meminta kepada kuburan, bebatuan, pepohonan dan sebagainya. Serta menciptakan hubungan yang harmonis dengan penguasa. Menaati Mereka dalam segala hal yang ma’ruf untuk mencapai kehidupan yang diridhai oleh Allah ta’ala.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Dr. Ali Musri Semjan Putra
Artikel www.muslim.or.id
Aqidah, Kunci Kejayaan Umat
author :Abu Mushlih
Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bangkitnya Para Pemuda
Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).
Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.
Rahasia Keberhasilan
Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Mulailah Dari Hatimu…
Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban, bahkan mereka rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran; apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).
Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung.
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat namun maknanya benar).
Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari).
Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.”
Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!
Hati Para Sahabat Sebagai Teladan
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar (takut) dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ (tinggi di atas Arsy) Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).
Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.
Lihatlah Diri Kita, Jangan Bermimpi…
Sekarang, kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim).
Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana?
Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!
Sadarlah, Wahai Saudaraku!
Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang.
Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?
Sungguh, yang kita takutkan sekarang ini bukanlah tank-tank dan rudal Yahudi.. Namun yang kita takutkan adalah para generasi muda Islam yang menikmati gaya hidup dan perilaku ala Yahudi serta tokoh-tokoh penyesat umat yang berwajah Kiyai. Musuh-musuh dalam selimut yang meruntuhkan kekuatan umat ini dari dalam, inilah yang menjadi ganjalan bagi kejayaan umat ini. Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang masih memiliki akal pikiran
Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bangkitnya Para Pemuda
Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).
Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.
Rahasia Keberhasilan
Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Mulailah Dari Hatimu…
Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban, bahkan mereka rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran; apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).
Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung.
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat namun maknanya benar).
Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari).
Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.”
Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!
Hati Para Sahabat Sebagai Teladan
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar (takut) dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ (tinggi di atas Arsy) Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).
Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.
Lihatlah Diri Kita, Jangan Bermimpi…
Sekarang, kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim).
Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana?
Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!
Sadarlah, Wahai Saudaraku!
Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang.
Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?
Sungguh, yang kita takutkan sekarang ini bukanlah tank-tank dan rudal Yahudi.. Namun yang kita takutkan adalah para generasi muda Islam yang menikmati gaya hidup dan perilaku ala Yahudi serta tokoh-tokoh penyesat umat yang berwajah Kiyai. Musuh-musuh dalam selimut yang meruntuhkan kekuatan umat ini dari dalam, inilah yang menjadi ganjalan bagi kejayaan umat ini. Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang masih memiliki akal pikiran
Lima Langkah Penyempurna, agar Rumah Tangga Bahagia
Tentu, rumah tangga bahagia yang bergelar baiti jannati, rumahku adalah surgaku, memiliki harga mati yang wajib kita beli: yakni seharga iman dan kepatuhan kita kepada Allah. Segala kaidah, petuah, rumus dan kiat-kiat yang berhulu dari olah logika manusia, tak akan bisa menghantarkan pasutri kepada kebahagiaan hakiki. Tanpa kepatuhan kepada Allah, tanpa ketaatan pada syariat yang Maha Pencipta, manusia hanya akan menjadi perusak bagi dirinya sendiri, dan bagi siapapun yang ada di sekitarnya, termasuk keluarga, anak, isteri atau suami. Bisa jadi, kerusakan itu tak terlihat. Bisa jadi orang banyak menganggap mereka sebagai sosok keluarga bahagia. Bisa jadi, seolah-olah mereka adalah keluarga yang layak diteladani dalam segala hal. Selama mereka jauh dari agama Allah, selama itu pula mereka menjadi contoh manusia yang membahayakan diri dan orang lain.
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:
Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.
Padahal, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya. Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”
Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya. Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.
Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
“Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri? Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?
“Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)
Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih. Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan. Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu. Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[3]“
Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak. Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”
Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir, sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka. Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang. Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan. Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah? Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.
Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan. Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang. Begitu juga dalam kehidupan pasutri. Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.
Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
“Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut. Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian. Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja.
Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?
Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?
Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita. Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”
Salah satu tips menghargai pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.
Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.
” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)
Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat. Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka. “Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]
Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.
Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..
[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar, “Hadits ini hasan Shahih”.
Penulis: Abu Umar Basyir
Berikut, beberapa langkah untuk menyempurnakan keluarga bahagia:
Pertama: Mendahulukan Keridhaan Allah, dan Keridhaan Pasangan
Banyak orang beranggapan, bahwa bila ingin rumah tangga senantiasa rukun, tentram dan bahagia, ia harus berusaha memperturutkan keinginginan pasangannya, meski itu harus berlawanan dengan kehendak mereka sendiri, atau bahkan melanggar syariat Allah. Karena bayangan kemarahan pasangan senantiasa tergambar di matanya sebagai hal yang paling menakutkan. Karena itu, mereka berusaha mencari perhatian dan mengambil ‘hati’ pasangan mereka, meski dengan mengorbankan kepatuhannya kepada Allah.
Padahal, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهِ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ
“Siapa saja yang mencari keridhaan Allah dengan hal-hal yang dimurkai oleh umat manusia, pasti Allahpun akan meridhainya, dan umat manusia juga akan menyukainya. Siapa saja yang mencari keridhaan umat manusia dengan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, pasti Allahpun akan murka terhadapnya, sementara umat manusia justru akan membencinya[1].”
Saat mencari keridhaan orang lain dengan konsekuensi kemurkaan Allah, maka seseorang akan menjadi budak sesamanya. Kekuatan Allah tidak pernah mengisi hatinya, sementara kemurkaan orang lain akan menjadi Neraka buat dirinya. Maka, lihatlah suami yang begitu takut pada kemarahan isteri, atau isteri yang begitu khawatir terhadap kemarahan suami, lalu mereka melakukan apa saja demi menghindari kemarahan tersebut. Mereka akan kehilangan kesempatan memperoleh banyak kebajikan. Seorang suami harus bertarung menghadapi kemarahan banyak orang, termasuk atasannya dalam pekerjaan, atau para tetangganya. Ia akan kelihatan begitu menyebalkan di hadapan banyak orang, dan hanya mungkin menjadi hero di hadapan isterinya saja. Dan itupun tidak akan bertahan lama. Karena memuaskan isteri dengan segala cara, justru membuat isteri semakin lapar tuntutan. Layaknya bayi yang tak pernah disapih. Alih-alih mendapatkan pujian sang isteri, ia justru akan menjadi manusia paling sengsara di dalam rumahnya sendiri.
Seorang istri yang berlaku serupa karena takut pada kemarahan suami, akan kehilangan kesempatan menjadi wanita yang baik di mata siapapun, bahkan akhirnya juga di mata suaminya sendiri. Ia akan kepayahan bergaul dengan sesama wanita. Karena segalanya selalu dibatasi kemauan suami. Ia akan sulit mengaji, memperbaiki diri, bila kebetulan sang suami kurang menghendakinya. Bahkan di lingkungan orang-orang taat sekalipun, isteri yang berorientasi hanya pada kenyamanan hati suami tanpa mengindahkan syariat Allah, pasti akan terjebak pada dilema penyembahan sesama manusia. Saat itu, segala sendi kebahagiaan rumah tangga akan runtuh dengan sendirinya.
Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,
“Manusia paling berbahagia adalah yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena, dengan cara itu, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia. Orang yang mencari keridhaan manusia dengan hal-hal yang membuat Allah murka, pasti pujian manusia terhadapnya, berubah menjadi cacian belaka[2].”
Agar beroleh kebahagiaan seutuhnya, manusia tidak boleh menggantungkan kebahagiaannya pada kehendak sesama manusia. Bagaimana mungkin seseorang bergantung pada kehendak suami atau isterinya, lalu dengan itu mereka ingin bahagia, sementara suami atau isteri mereka sendiripun tak bisa menjaminkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri? Membiarkan diri kita memperturutkan kemauan orang lain dengan mengorbankan kehendak Yang MahaKuasa, berarti membiarkan diri kita dijajah sesama manusia. Orang yang dijajah, bagaimana mungkin beroleh bahagia?
“Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman…?” (At-Taubah : 13)
Kedua: Membangun Cita-cita Akhirat
Tentu kita semua tahu, bahwa cita-cita tertinggi dalam diri kita sebagai mukmin adalah masuk Surga, dan beroleh keridhaan Allah Yang MahaPengasih. Tapi, dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, suami maupun isteri kerap terjebak pada target-target jangka pendek yang terlalu menyibukkan pikiran, sehingga konsistensi pada nilai-nilai akhirat menjadi terabaikan. Hari ini, saya harus beli ini. Tanggal sekian, saya harus sudah bisa membeli ini, memiliki itu. Tahun ke sekian pernikahan, kami harus sudah mempu begini dan begitu. Keinginan adalah manusiawi. Tapi kerap kali keinginan suami maupun isteri, membayangi-bayangi pikiran mereka sepanjang waktu. Sehingga tak ada hari tanpa memikirkan target dan pencapaian yang harus diraih. Sebuah kegagalan, akan menyisakan tumpukan kegundahan dalam hati. Bagaimana bila kegagalan demi kegagalan terus berdatangan? Bersiaplah menjadi manusia paling melarat di dunia.
“Orang yang cita-citanya tertuju pada dunia saja, urusannya akan Allah cerai beraikan, kemiskinan senantiasa terbayang di pelupuk matanya, sementara dunia yang mendatanginya hanya sebatas yang telah Allah tetapkan baginya saja. Dan Siapa saja yang cita-citanya tertuju pada akhirat, pasti Allah beri keteguhan pada kesatuan jiwanya, kekayaan selalu melekat dalam hatinya, sementara dunia justru mendatanginya secara pasrah.[3]“
Pondasi ini harus kerap dikampanyekan dalam keluarga. Suami maupun isteri harus saling ingat-mengingati soal cita-cita akhirat ini. Setiap tingkah, prilaku, amalan, hingga ucapan sehari-hari yang mulai mengarah untuk menjebak diri mereka ke dalam kegilaan terhadap dunia, harus segera dimandulkan kembali. Apakah dengan itu mereka akan menjadi pribadi yang pemalas? Tidak, sama sekali tidak. Itu bisa terlihat, ketika suami terlalu sibuk bekerja, sehingga lupa mengajak isteri mengaji, lupa dengan masjid, mulai semakin jarang membaca Al-Quran…..Sang isteri wajib menegur, dan mengingatkan suami, “Mas, mari kita kembali kepada Allah….”
Saat mulut isteri sibuk berkicau soal keinginan-keinginan duniawi, sehingga menjadi sepi dari dzikir, sang suami harus berkata santun, “Sayang, banyaklah bertasbih, bertakbir, bertahlil, agar iiwa kita senantiasa ingin mengejar akhirat…”
Saat kegilaan terhadap dunia menghinggapi hati salah satu pasutri, apalagi kedua-duanya, maka arah kehidupan rumah tangga akan berbolak-balik. Mereka tak akan pernah merasa nyaman dalam satu kondisi. Pikiran mereka selalu berusaha melahap kenyamanan-kenyamanan baru, sehingga nyaris tak pernah menyukuri segala yang Allah karuniakan kepada mereka. Itulah sebabntya, banyak konflik rumah tangga terjadi, karena hasrat-hasrat duniawi yang tidak terpenuhi. Ada yang isteri yang ribut secara heboh, hanya karena uang jatah uang bulannya berkurang. Padahal sesungguhnya, yang ia terima masih sangat berlimpah dibandingkan kebanyakan orang. Itulah sebabnya, banyak suami yang bekerja kesetanan mencari tambahan rezki, karena baik dirinya maupun isterinya, sama-sama menganggap bahwa pencapaian tertentu dalam soal kemapanan adalah keharusan. Kegagalan adalah musibah yang tak bisa dimaafkan. Dengan demikian, berarti kebahagiaan seseorang amatlah bergantung pada pencapaian hasrat-hasrat duniawinya. Padahal hasrat manusia selalu berkembang. Hari ini, batas sekian sangatlah mencukupi. Bila itu sudah tercapai, ia akan mengejar yang lebih banyak lagi. Hasratnya akan makin berkembang dari hari ke hari. Maka, dari mana kebahagiaan itu akan muncul? Bagaimana pasutri bisa mengenyam kebahagiaan itu, bila syarat pencapaiannya senantiasa berubah-ubah? Saudara seiman. Bila sebuah rumah tangga tidak dibangun dengan terus mengasah kecintaan terhadap akhirat, dengan saling nasihat menasihati dalam meningkatkan ibadah, maka hasrat-hasrat duniawi akan membelit jiwa pasutri. Bila itu terjadi, kebahagiaan hidup akan menjadi angan-angan belaka.
Ketiga: Meningkatkan Kwalitas Karakter dan Kebiasaan
Ada sebuah hal sederhana yang kerap diabaikan oleh pasutri, padahal itu amatlah berpengaruh pada proses pembahagiaan hidup dan penyejahteraan jiwa. Hal itu tersebut adalah perbaikan karakter dan kebiasaan. Manusia yang tidak berdinamika untuk semakin baik dari hari kehari, pasti akan terjebak dalam kepenatan hidup. Karena ujian dan cobaan hidup makin beragam, sementara potensi diri tidak berkembang. Begitu juga dalam kehidupan pasutri. Di antara sekian banyak problematika rumah tangga, sisi yang terberat adalah membina keserasian dan harmonisasi pasutri dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling kerap mengganjal tujuan membina keserasian adalah adanya perbedaan karakter antara suami dan isteri, yang menyebabkan mereka kesulitan untuk berinteraksi secara nyaman. Perbedaan karakter dan kebiasaan itu kadang-kadang kontradiktif, seperti perbedaan antara manis dan pahit, dingin dan panas, sehingga kerap terjadi ketegangan-ketegangan saat kepentingan karakternya terusik oleh kepentingan karakter pasangannya.
Saat makan, saat menikmati udara, saat mengamati kasus-kasus tertentu, saat menghibur diri, tentu sangat membahagiakan pasutri. Tapi semua itu lenyap seketika, ketika masing-masing memiliki karakter berseberangan saat menikmati semuanya. Kebersamaan yang indah itu akhirnya justru memberi hasil sebaliknya: keributan.
Maka, setiap pasutri wajib membina karakter dan kebiasaannya agar semakin permisif, semakin akomodatif terhadap perbedaan karakter pasangannnya. Dan itu akan semakin mudah, bahkan semakin memberikan kenikmatan lebih, bila mereka tulus menjalannya.
Ada isyarat dalam hadits, yang tidak dipahami oleh banyak orang.
“Janganlah seorang suami beriman membenci istrinya yang beriman. Karena kalau ia tidak menyukai salah satu tabiatnya, pasti ada tabiat lain yang membuatnya merasa senang[4].”
Hadits ini sering digunakan untuk makna bahwa seseorang harus berusaha sabar menghadapi karakter dan kebiasaan pasangan yang tidak dia sukai. Padahal sesungguhnya, hadits juga memberi isyarat tegas bahwa setiap pasangan harus berusaha mengoptimalkan sisi karakter yang disukai oleh pasangan, agar dapat meminimalisir pengaruh karakter dan kebiasaan buruknya terhadap pasangannya tersebut. Artinya, jangan sampai karakter yang tidak disukai pasangan justru semakin dominan dari hari ke hari. Justru sebaliknya, karakter yang kurang disukai itu hendaknya semakin hari semakin dikikis, sementara karakter yang disengani oleh pasangan, semakin hari semakin diasah. Bila keduanya melakukan hal itu, niscaya kehidupan rumah tangga akan semakin mengembunkan keceriaan, kebahagiaan dan ketentraman, pada kulit kehidupan keseharian. Persoalannya, banyak pasutri yang enggan mengubah karakter dan kebiasaan diri. Di sisi lain, mereka juga kurang berminat untuk mengoptimalkan karakter dan kebiasaan diri yang berpotensi membahagiakan pasangan. Kenapa? Karena banyak orang ingin menjalani hidup ini secara mengalir begitu saja.
Padahal, tidak ada puncak kebahagiaan yang bisa dicapai tanpa tetesan keringat. Itu artinya, kebahagiaan harus dicari dan diusahakan. Kalau Allah telah menciptakan segala potensi itu pada diri kita, kenapa kita tidak mengusahakannya?
Amatlah mudah untuk memahami apa yang disukai pasangan dari diri kita, dan apa yang tidak disukai oleh pasangan dari diri kita. Hanya persoalannya, maukah kita berusaha agar pasangan kita semakin hari semakin banyak mendapatkan hal-hal yang paling disukainya dari diri kita?
Keempat: Menghargai Pasangan
Apapun yang diusahakan oleh manusia, selalu saja menyisakan kekurangan dan kealpaan. Alangkah baiknya, bila kitapun belajar menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi, bila orang lain itu adalah pasangan kita. Suami, atau isteri kita. Langkah keempat ini adalah langkah antisipasi atas segala kekurangan yang terjadi, saat segala upaya telah dilakukan. Sekadar menyadarkan kita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Maka kebahagiaan diri kita hanya bisa dicapai, bila kita mampu memahami segala kekurangan siapapun yang dengannya kita berinteraksi. Terutama sekali pasangan kita sehari-hari.
Memahami kekurangan, berarti juga menghargai kelebihan. Semakin seorang suami atau isteri memahami kekurangan pasangannya, semakin pula ia mampu menghargai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangannya.
“Wajar, kalau dia kurang pandai memasak, karena sejak kecil tidak terbiasa melakukannya. Tapi bersih-bersih, dia tetap jagonya…”
“Mungkin suamiku agak sedikit pemarah, karena dia memang anak satu-satunya dalam keluarga. Tapi soal keromantisan, makin hari makin luar biasa…”
Salah satu tips menghargai pasangan adalah membangun kebiasaan untuk mempelajari kelebihannya. Artinya, suami maupun isteri, sebaiknya melihat apa yang menjadi kelebihan pasangannya, lalu belajar untuk bisa seperti dia. Kenapa demikian? Karena seseorang akan bisa menghargai pekerjaan atau sesuatu, bila ia sudah mengenalinya. Bila sudah sibuk memasak di dapur, atau membersihkan kamar mandi, seorang suami akan mengerti betapa pekerjaan-pekerjaan isterinya itu sesungguhnya sangatlah luar biasa.
Begitu pula, bila isteri menyempatkan diri membantu mengerjakan sebagian pekerjaan suami. Begitu pula, bila suami maupun isteri menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal yang menjadi kelebihan pasangan, meski itu sebenarnya sudah lazim dikerjakan oleh isteri atau suami sepertinya.
Selain meniru kebiasaan baik pasangan, sebaiknya suami ataupun isteri juga mengajarkan kelebihannya kepada pasangannya. Suasana take and give itu akan indah, ketika masing-masing saling menyadari bahwa yang ia miliki juga sudah seharusnya dimiliki oleh pasangannya. Meski dalam kenyataan itu tidaklah mudah, dan kalaupun berhasil tidak akan sepenuhnya, namun dengan kebiasaan itu masing-masing akan semakin mampu menghargai pasangan. Tanpa belajar memahami pasangan, pasutri akan terus dibuat kepayahan oleh pasangannya sendiri sepanjang hidupnya.
” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya…” (Al-Maidah : 2)
Yang Kelima: Bertawakal Kepada Allah
Manusia tidak mungkin menjemput kebahagiaan, dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Manusia, tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya. Tentu ada kekuatan tak terbatas yang mampu membolak-balikkan hati. Yang mengubah yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada. Kekuatan itu adalah kekuasaan Allah, YangMahaPerkasa.
Di sisi lain, manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan yang menjadi karakter dasarnya,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir..” (Al-Ma’aarij : 19-21)
Hanya orang yang taat dan senantiasa beribadah kepada Allah, yang mampi meminimalisir pengaruh dari karakter dasar manusia itu. Selebihnya, dari awal hingga akhir, ia harus senantiasa menyandarkan urusannya kepada Allah.
“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh…” (Al-A’raaf : 196)
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Ali Imran : 173-174)
Pasutri harus membiasakan diri untuk bertawakal kepada Allah. Beban hidup, persoalan, keragaman peristiwa, hal-hal yang tak terduga, semua sering dapat mengejutkan dan menindih jiwa kita dengan beban yang berat. Seringkali sesuatu itu menjadi tak seindah yang dibayangkan. Seringkali hal-hal terjadi tak sewajar yang kita pikirkan. Maka, hanya dengan bertawakal segala persoalan itu mengendap menjadi ampas-ampas beban yang tak lagi menyiksa.
Simak, sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ,
لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَسُرُّنِيْ أَنْ لاَ تَمُرُّ عَلَيَّ ثَلاَثَ لَيَالٍ وَ عِنْدِيْ مِنْهُ شَيْءٌ، إِلاَّ شَيْءٌ أَرْصَدَهُ لِدَيْنٍ
“Seandainya aku memiliki emas sebanyak gunung Uhud, maka aku sangat bergembira kalau tidak sampai berlalu tiga hari lamanya hingga tidak ada sedikit pun yang tersisa dari emas itu, kecuali sesuatu yang aku siapkan untuk membayar utang.”[5]
Kita boleh saja berusaha, tapi segalanya sudah tersurat. Keyakinan ini seharusnya memberi kekuatan lebih pada jiwa pasutri, sehingga senantiasa menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa. Dan bahwa asalkan mereka bertakwa, tidak ada hal yang dapat mencelakakan mereka. “Ketahuilah, seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mendatangkan manfaat padamu maka, mereka takkan dapat memberikan manfaat itu kecuali manfaat sebatas yang telah Allah tetapkan padamu. Ketahuilah, seandainya mereka semua bersatu untuk mencelakakan dirimu, maka mereka tak dapat mendatangkan mudharat kecuali sebatas mudharat yang telah Allah tetapkan atas dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”[6]
Pasutri harus saling ingat mengingatkan, agar bertawakal kepada Allah, menyerahkan segala hal, urusan dan akhir perjalanan hidup ini kepada Allah semata. Kita hanya wajib berusaha, dan Allah yang akan menentukan segalanya.
Membiasakan diri, untuk tersenyum dalam segala kepedihan.
Membiasakan diri, untuk menolong orang lain dalam segala kesusahan.
Membiasakan diri, untuk bersyukur atas segala kesulitan.
Membiasakan diri, untuk mengerjakan sesuatu tanpa terbebani oleh apa yang akan terjadi sesudahnya.
Seorang isteri harus membiasakan diri melepas suami bekerja dengan senyum indah, dan menyambutnya kembali sepulang kerja dengan senyum yang tetap mengembang sentosa.
Seorang suami harus membiasakan diri memahami relung-relung terdalam dari perasaan seorang isteri. Mempelajari body language yang menjadi ciri khas wanita, sehingga lebih mampu memberi sentuhan-sentuhan bahagia kepadanya.
Suami dan isteri haruslah membiasakan diri, untuk menyadari bahwa segala yang terjadi bukanlah hak manusia untuk mengadilinya…..
[1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV : 609. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban I : 510. Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id IV : 71. Juga oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannif VI : 198. Lalu oleh Ath-Thabrani X : 215.
[2] Lihat Jami’ul Uluum wal Hikam I : 163.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 949.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Muslim II : 1091 dan Ahmad II : 329.
[5] Shahih Al-Al-Bukhari, No. 6443
[6] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, No. 244. Beliau berkomentar, “Hadits ini hasan Shahih”.
Penulis: Abu Umar Basyir
Subscribe to:
Posts (Atom)